Bersegera dalam Seruan (Ruhul Istijabab / Sur’atul Istijabah)

Dalam kehidupan sehari-hari, begitu banyak nasihat yang kita peroleh dari rekan-rekan di sekitar kita, nasihat tersebut biasanya adalah sebuah upaya yang mereka lakukan agar diri kita menjadi lebih baik. Dalam agama islam sendiri, anjuran-anjuran tersebut kerap kali disebut sebagai suatu seruan, tidak terbatas pada konteks nasihat saja, tapi melingkupi ajakan dan lebih luas lagi. Dalam hal ini, mereka yang memberikan seruan biasanya adalah seorang pemimpin yang mengajak anggotanya untuk melakukan amalan kebaikan, walaupun pada kenyataannya hal tersebut tidak dilakukan oleh pemimpin saja. Tidak bersegera dalam melaksanakan seruan disebabkan adanya missing link, atau tidak adanya keterhubungan hati dengan agenda/ instruksi yang akan dikerjakan. Meskipun alasan tersebut jelas tertolak oleh hadits “Adalah wajib bagi seorang muslim untuk mendengarkan dan taat terhadap perintah (pemimpin) yang disukainya ataupun yang dibencinya selamanya dia tidak diperintahkan melakukan hal tersebut (maksiat) maka dia tidak wajib mendengarkan atau menaatinya”. (HR Bukhari dan Muslim).

Dalam hadits lain mengenai seruan, dari Abu Hurairah RA bahwa nabi bersabda “Bersegeralah kalian melakukan amal shalih karena adanya fitnah sebagaimana malam yang gelap. Seseorang menjadi mukmin di pagi hari dan sore hari menjadi kafir. Di sore hari mukmin lalu pagi hari menjadi kafir. Dia menjual agamanya dengan kesenangan dunia.” (HR. Muslim)
Sementara itu, dalam Al-Qur’an Allah berfirman :



يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ ۖ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَحُولُ بَيْنَ الْمَرْءِ


Hai orang-orang beriman, penuhilah seruan Allâh dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allâh membatasi antara manusia dan hatinya, dan sesungguhnya kepada-Nya lah kamu akan dikumpulkan [Al-Anfâl/8:24].

Ayat tersebut memiliki tafsir ayat yang mendalam sebagaimana yang ditulis oleh Ustadz Muhammad Ashim Musthofa.

Kewajiban Memenuhi Seruan Allâh dan Rasul-Nya 



يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ

Hai orang-orang beriman, penuhilah seruan Allâh dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu

Pada ayat ini, Allâh Azza wa Jalla memerintahkan hamba-Nya kaum Mukminin melalui keimanan yang ada pada mereka., yakni perintah untuk istijâbah (memenuhi seruan) Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya. Maksudnya, hendaknya mereka tunduk terhadap perkara yang diperintahkan dan bersegera menjalankannya, serta mendakwahkannya, dan menjauhi perkara yang dilarang Allâh dan Rasul-Nya serta menahan diri dari perkara itu.[1]

Imam ath-Thabari rahimahullah mengatakan, “Penuhilah seruah Allâh dan Rasul-Nya dengan menjalankan amalan ketaataan jika Rasul menyeru kalian kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepada kamu yang berupa al-haqq (kebenaran)”.[2]

Sementara Imam al-Bukhâri rahimahullah mengatakan, “(Penuhilah seruan Allâh dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu) kepada suatu yang memperbaiki (keadaan) kalian”

Semua seruan Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya mempunyai kandungan yang dapat menghidupkan hati dan jiwa. Hal ini lantaran hidupnya hati dan jiwa tiada disebabkan oleh ‘ubudiyyatullâh (penghambaan diri kepada Allâh Azza wa Jalla ), selalu taat kepada-Nya, taat kepada Rasul-Nya secara kontinyu. [3]

Bahaya Berpaling dari Seruan Allâh Azza Wa Jalla dan Rasul-Nya



وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَحُولُ بَيْنَ الْمَرْءِ وَقَلْبِهِ


dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allâh membatasi antara manusia dan hatinya 

Selanjutnya, Allâh Azza wa Jalla memperingatkan bahaya dari tindakan menolak atau melecehkan perintah Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Perintah agar bersegera menyambut perintah Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya untuk mengantisipasi saat-saat kemungkinan seorang hamba tidak sanggup melakukannya karena Allâh Azza wa Jalla telah menghalang-halangi hati untuk tunduk. Baik oleh faktar kematian [4] maupun kerusakan atau sesatnya hati sebagai dampak dari perbuatan maksiat maupun sikap i’râdh (keengganan untuk taat). Pada akhirnya, hati seperti ini akan mengalami perubahan pandangan dan kehilangan sensivitasnya, tidak mengenal kebaikan dan tidak mengingkari kemungkaran, atau membenci kebaikan dan menyukai kejelekan. [5]

Bila seseorang berpaling dari seruan Allâh Azza wa Jalla , padahal kondisi sangat mendukung, maka tidak berapa lama Allâh Azza wa Jalla akan menghalangi hatinya sehingga tidak memperoleh taufik untuk menyambut seruan Allâh meskipun menginginkannya. Itu tiada lain akibat efek buruk dari sikap berpaling yang ada pada diri mereka di permulaan. Simaklah firman Allâh Azza wa Jalla :


فَلَمَّا زَاغُوا أَزَاغَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ 


Maka tatkala mereka berpaling (dari kebenaran), Allah memalingkan hati mereka [ash-Shaff/61:5] 

Imam al-Bukhâri rahimahullah meriwayatkan dari Abu Sa’îd bin al-Mu’alla Radhiyallahu anhu : ia berkata: “Pernah aku sedang shalat. Kemudian melewatiku dan memanggilku, namun aku tidak memenuhi panggilnannya sampai aku menyelesaikan shalat. (Usai shalat), baru aku mendatangi beliau. Beliau berkata, “Apa yang menghalangi dirimu untuk datang?. Bukankah Allâh berfirman, “Hai orang-orang beriman, penuhilah seruan Allâh dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu”. Kemudian beliau bersabda, “Aku akan benar-benar mengajari engkau surat paling agung dalam al-Qur`ân sebelum engkau keluar (masjid). Rasûlullâh berjalan keluar. Aku pun mengingatkannya. Beliau mengatakan, “(Surat paling agung dalam al-Qur`ân) adalah alhamdulillâhi rabbil ‘âlamîn. Ia adalah sab’ul matsâni (surat al-Fâtihah) [HR. al-Bukhâri no. 4647].

Imam as-Suyûthi rahimahullah dalam al-Khashâish al-Kubrâ (2/253) menyatakan, bab bahwa orang yang shalat, ia wajib memenuhi panggilan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menyerunya dan itu tidak menyebabkan shalatnya batal.

Mungkin akan ada orang yang bertanya-tanya dengan keheranan [6] , “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah meninggal dan tidak kembali ke dunia lagi. Beliau tidak akan menyeru seorang pun dari kita saat kita sedang mengerjakan shalat, mengapa nash-nash ini tetap disampaikan padahal tidak ada kepentingannya?”

Maka jawabannya, kalau Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mencela orang yang tidak memenuhi panggilan beliau padahal sedang dalam shalatnya, maka dapat diketahui tidak ada udzur lagi bagi siapa saja yang menolak memenuhi perintah beliau dan berani menyelisih larangan beliau.
Mengingat pentingnya keteguhan hati di atas ketaatan kepada Allâh Azza wa Jalla, secara khusus Syaikh ‘Abdur Rahmân as-Sa’di rahimahullah menekankan pentingnya seorang Mukmin memohon kepada Allâh Azza wa Jalla agar menetapkan dan meneguhkan hatinya di atas agama-Nya. Beliau mengatakan[7], “Hendaknya seorang hamba memperbanyak doa.


يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِيْ عَلَى دِيْنِكَ


Wahai Dzat Yang Membolak-balikkan kalbu, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu


يَا مُصَرِّفَ الْقُلُوبِ اصْرِفْ قَلْبِيْ إِلَى طَاعَتِكَ


Wahai Dzat Yang Membolak-balikkan kalbu, condongkanlah hatiku kepada ketaatan kepada-Mu[9]


وَأَنَّهُ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ


Dan sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan 

Allâh Azza wa Jalla sangat berkuasa terhadap hati manusia. Dia k lebih memilikinya daripada manusia itu sendiri. Kepada-Nya lah tempat kembali mereka di hari Kiamat. Allâh Azza wa Jalla akan menyempurnakan balasan semua amalan. Orang yang berbuat baik dibalas kebaikannya dan orang yang jelek dibalas berdasarkan kejelekannya. Karena itu, kata Imam ath-Thabari t , “Bertakwalah kepada-Nya dan merasalah selalu dilihat oleh-Nya dalam seluruh perkara yang di- perintahkan dan yang dilarang, jangan sampai kalian sia-siakan. Janganlah kalian menolak seruan Rasul-Nya ketika menyeru kalian kepada sesuatu yang memberi kehidupan bagi kalian. Akibatnya akan mendatangkan kemurkaan-Nya dan kalian mendapatkan siksa-Nya yang pedih ketika dikumpulkan kepada-Nya di hari Kiamat”. [10]

Orang yang mengetahui bahwa dirinya akan dikumpulkan di hadapan Allâh Azza wa Jalla , bagaimana mungkin akalnya bisa menerima, dirinya selalu mendengar seruan-Nya berupa perintah atau larangan dari-Nya, akan tetapi ia membiarkan dirinya tetap berpaling dari-Nya [11]

Pelajaran dari ayat

  1. Kewajiban menyambut seruan Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya dengan menjalankan perintah dan menjauhi larangan, karena itu merupakan faktor penyebab hidupnya seorang Muslim
  2. Keharusan memanfaatkan kesempatan untuk melakukan kebaikan sebelum hilang
  3. Pentingnya memohon keteguhan hati di atas iman, karena hati berada di tangan Allâh Azza wa Jalla , Allâh Azza wa Jalla membolak-balikkan sesuai dengan kehendak-Nya. Wallâhu a’lam

Balasan Seruan

Dalam kaidah usul bahwa perintah adalah sesuatu hal yang menuntut kita untuk dikerjakan kecuali jika ada dalil yang membolehkan penundaan atau penolakan. Karena hakikatnya sebaik baik ibadah adalah manakala dilakukan di awal waktunya.

Ketika dengan ikhlas kita melakukan seruannya maka yakinlah kita mendapatkan balasan yang lebih baik dari pekerjaan atau seruan tersebut “Barang siapa beramal shalih baik laki–laki maupun perempuan sedangkan ia beriman maka Kami pasti akan beri kehidupan yang baik dan Kami balas dengan balasan yang lebih baik dari apa yang ia kerjakan.” (Al-An’am: 97) “Sedangkan yang mati hatinya akan dibangkitkan Allah, kemudian kepada-Nya mereka dikembalikan”. (QS. Al-An’am: 36)
Ketika seruan yang ditujukan kepada kita adalah seruan dakwah entah itu dakwah secara eksplisit (menyeru langsung) ataupun implisit (daurah atau pelatihan tentang dakwah) maka seruan ini bukan lagi seruannya murabbi kita, atau seruan ketua atau seruan pemimpin kita tapi ini adalah seruan Allah dan wajib kita melaksanakannya jika tidak ingin menerima balasan yang buruk.

“Bagi orang-orang yang memenuhi seruan Tuhannya, (disediakan) pembalasan yang baik. Dan orang-orang yang tidak memenuhi seruan Tuhan, sekiranya mereka mempunyai semua (kekayaan) yang ada di bumi dan (ditambah) sebanyak isi bumi itu lagi besertanya, niscaya mereka akan menebus dirinya dengan kekayaan itu. Orang-orang itu disediakan baginya hisab yang buruk dan tempat kediaman mereka ialah Jahanam dan itulah seburuk – buruk tempat kediaman.“ (QS. Ar-Ra’du: 18).

Bersegera pada seruan pada zaman Rasulullah sangat dijunjung tinggi oleh para sahabat-sahabat, mereka yang mendengarkan seruan akan sesuatu segera melaksanakannya pada saat itu juga, sebagaimana kisah tatkala khamar akhirnya dilarang untuk diminum padahal minuman tersebut sudah menjadi minuman yang membudaya di tanah Arab. Serta perintah berhijab yang dikhususkan untuk kaum perempuan, sebagaimana kita ketahui bersama bahwa salah satu fungsi hijab ini adalah sebagai pembeda antara perempuan muslim dan yang bukan.

Contoh Kasus 1 : Larangan meminum khamar

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah [434], adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).” (Q.S. Al-Maidah: 90-91)

Mendengar firman suci tersebut, tanpa berpikir panjang mereka segera menumpahkan drum-drum penyimpanan khamar. Botol-botol yang menjadi wadah khamar pun segera dipecahkan. Mereka menjawab seruan larangan khamar tersebut dengan teriakan yang kompak,
“إنتهينا يا رب”, kami benar-benar berhenti dan tidak akan melakukannya lagi Ya Tuhan.”

Dari Annas bin Malik “Aku sedang memberi minum para tamu di rumah Abu Thalhah, pada hari khamar diharamkan. Minuman mereka hanyalah arak yang terbuat dari buah kurma. Tiba-tiba terdengar seorang penyeru menyerukan sesuatu. Abu Thalhah berkata: Keluar dan lihatlah! Aku pun keluar. Ternyata seorang penyeru sedang mengumumkan: Ketahuilah bahwa khamar telah diharamkan. Arak mengalir di jalan-jalan Madinah. Abu Thalhah berkata kepadaku: Keluarlah dan tumpahkan arak itu! Lalu aku menumpahkannya (membuangnya). Orang-orang berkata: Si fulan terbunuh. Si fulan terbunuh. Padahal arak ada dalam perutnya. (Perawi hadits berkata: Aku tidak tahu apakah itu juga termasuk hadits Anas). Lalu Allah Azza wa Jalla menurunkan ayat: Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh karena makanan yang telah mereka makan dahulu, asal mereka bertakwa serta beriman dan mengerjakan amal-amal saleh.” (Shahih Muslim No.3662)

Contoh Kasus 2 : Peristiwa berhijab

Dari Aisyah RA, ia berkata “Semoga Allah merahmati wanita-wanita yang pertama berhijrah, di mana ketika Allah menurunkan firman-Nya “… Hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dada mereka (An-Nur 31) mereka langsung merobek kain gorden mereka untuk dijadikan hijab.” (HR. Bukhari)

Allahu ‘alam bishowab.

Digabungkan oleh Didik Setiawan dengan penyesuaian tampilan.

Sumber utama
 
 
Catatan : Postingan ini adalah postingan yang paling ramai di blog. Saya harap siapa pun yang membaca langsung menuju sumbernya ya (Almanhaj & Dakwatuna) , karena postingan ini sekadar tugas menulis di masa kuliah.

Baca juga:

Posting Komentar

0 Komentar