Saya sebenarnya sangat muak melihat manusia-manusia sarjana atau lebih tinggi yang mengolok-olok "jadi anggota DPR/MPR mah lulusan SMA juga bisa, tenaga ahli baru deh S2 / S3". Mengapa? karena Saya tidak tahu mereka ini sebegitu benci dengan sistem yang ada atau pemerintah atau terlalu bodoh untuk memahami frasa "Perwakilan Rakyat".
Jawaban atas pertanyaan tersebut sebenarnya sederhana: bagaimana mungkin rakyat dapat diwakilkan jika seluruh perwakilan berpendidikan tinggi?. Mayoritas warga kita berpendidikan rendah, terus gimana ceritanya kalo semua perwakilan rakyat minimal sarjana? rakyat mana yang diwakilkan? minoritas berpendidikan? mereka ini paham konsep "Perwakilan Rakyat" nggak sih???.
Alasan SMA atau sederajat dicukupkan karena sudah dianggap menyelesaikan pendidikan dasar. Minimal mereka terbiasa membaca, menulis, dan berhitung serta memiliki daya analisis yang tidak idiot, alias normal sebagai manusia. Mereka, si lulusan SMA ini, dianggap cukup untuk mewakili masyarakat karena bergaul dan berkecimpung di lingkungan yang merakyat juga. Tentu saja pasti ada beda lingkungan pergaulan antara pendidikan tinggi dan rendah bukan? sebagaimana lingkungan kaya dan miskin.
"Nanti kalo kebijakannya nggak bener gimana?"
Gini deh, kalian tuh khawatir atau takut orang lulusan SMA jadi perwakilan rakyat karena mereka bodoh kan? karena kalian menganggap remeh kualitas dan kapabiltias orang yang cuma lulusan SMA?. Karena kalian sudah sarjana atau lebih tinggi dan merasa lebih kuat daya analisisnya dibandingkan mereka?.
Kalo yang dikhawatirkan adalah kebijakan malah lebih lucu lagi nih. Jika orang lulusan SMA ini buat kebijakan 'aneh', apa mungkin mereka yang lulusan sarjana atau lebih tinggi membiarkan? kalo diam saja dan membiarkan, lantas apa bedanya?. Kebijakan itu keputusan bersama kan? saling mengoreksi dan memperbaiki. Kalo saling acuh masalahnya bukan di pendidikan, tapi moralitas. Lalu malah balik ke pertanyaan dasar: apakah ada perbedaan moralitas antara lulusan SMA dan sarjana? karena yang kalian permasalahkan selama ini adalah kualitas dan kapabilitas!.
Misal nih, Saya mau ambil contoh Bu Susi yang jadi Menteri, pasti responnya adalah elakan "beliau mah emang orang hebat". Nah, tuh sadar!. Dengan logika yang sama, mungkin nggak sih orang yang cuma lulusan SMA -yang kalian anggap remeh- dibiarkan bertanding di pemilu dan menang? Masuk akal nggak sih kalo kursi perwakilan rakyat ini diperebutkan dan para partai membiarkan orang lulusan SMA menang mengalahkan para master dan doktor begitu aja?. mungkin nggak?. Apakah puluhan partai yang haus kekuasaan sebodoh itu membiarkan kursi dimenangkan oleh orang lulusan SMA yang biasa-biasa aja?.
Kursi perwakilan rakyat itu diperebutkan, kita semua tahu itu. Kalo kamu menganggap lulusan SMA sebagai kekurangan, pasti dia punya kelebihan lain yang membuat dia bisa bersaing memperebutkan kursi. Entah kaya, tokoh masyarakat, pengalaman yang teruji, atau apa pun lah yang membuat dia bisa menang.
"Suara kan bisa dibeli"
Bukannya siapa saja bisa beli suara? kalo lulusan SMA bisa beli suara, apa lulusan sarjana atau lebih tinggi nggak bisa? apakah beli suara adalah eksklusifitas orang lulusan SMA? hah?.
Kalau alasan dari lulusan SMA yang menang adalah kekayaan. Lantas, mereka yang lulusan sarjana atau lebih apakah bisa dengan kekayaan yang sama atau lebih mendapatkan kursi yang sama?. Kemenangan mendapatkan kursi nggak cuma tentang pendidikan dan kekayaan kan? kita semua tahu itu.
Udah begini aja tulisan kali ini. Kalo kurang puas bisa lanjut baca penjelasan GPT di bawah, dari Saya cukup.
Didik Setiawan
5 November 2024
14.42
Dibuat oleh GPT:
Persyaratan Pendidikan untuk Menjadi Anggota DPR/MPR di Indonesia: Perspektif Hukum, Demokrasi, dan Tantangan Praktis
Abstrak
Pencalonan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atau Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) di Indonesia tidak mengharuskan pendidikan formal yang tinggi. Walaupun persyaratan pendidikan tidak diatur secara ketat dalam sistem hukum, penting untuk memahami implikasi konstitusional dan praktisnya dalam konteks pemerintahan demokratis. Artikel ini membahas dasar hukum, dampak dari persyaratan yang longgar terhadap kualitas legislatif, serta tantangan dalam menciptakan pemerintahan yang efektif dan representatif. Melalui pendekatan multidisipliner, artikel ini mengungkapkan bagaimana keterwakilan politik dapat berlangsung dalam sistem yang inklusif namun juga menghadirkan tantangan besar terkait kualitas pembuatan kebijakan.
1. Pendahuluan
Indonesia adalah negara dengan sistem demokrasi yang mengedepankan prinsip keterwakilan rakyat. Oleh karena itu, pemilihan anggota legislatif, baik di tingkat DPR maupun MPR, dilakukan dengan prinsip universal yang memungkinkan siapa saja dari seluruh lapisan masyarakat untuk berpartisipasi. Salah satu aspek yang sering menjadi perdebatan adalah persyaratan pendidikan untuk calon legislatif. Meskipun pendidikan dianggap penting untuk meningkatkan kualitas legislasi, tidak ada ketentuan yang mengharuskan calon anggota DPR/MPR memiliki gelar sarjana atau pendidikan tinggi lainnya.
Persyaratan ini menjadi topik penting, mengingat anggota DPR/MPR memegang peran vital dalam pembuatan undang-undang dan pengawasan terhadap kebijakan pemerintah. Artikel ini bertujuan untuk mengkaji mengapa persyaratan pendidikan minimum tidak diterapkan, serta implikasi praktis dan konstitusional dari ketentuan tersebut.
2. Dasar Hukum dan Ketentuan yang Mengatur Persyaratan Pendidikan
Persyaratan untuk menjadi anggota DPR/MPR di Indonesia secara eksplisit diatur dalam beberapa peraturan, yang meliputi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, serta peraturan-peraturan pelaksana yang mengatur lebih rinci mekanisme pemilihan dan kualifikasi calon anggota legislatif.
2.1. Undang-Undang Dasar 1945 dan Prinsip Demokrasi
Pasal 21 UUD 1945 menegaskan prinsip bahwa DPR/MPR merupakan lembaga yang anggotanya dipilih oleh rakyat melalui pemilu, tanpa mencantumkan persyaratan pendidikan tertentu. Hal ini mengindikasikan bahwa sistem pemilu Indonesia mengedepankan prinsip keterwakilan rakyat secara luas, memberikan kesempatan yang sama bagi seluruh rakyat, tanpa memandang tingkat pendidikan formal mereka. Dalam perspektif ini, UUD 1945 lebih menekankan pada hak universal setiap warga negara untuk berpartisipasi dalam proses politik.
2.2. UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017
Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, sebagai peraturan utama yang mengatur mekanisme pemilihan umum di Indonesia, memuat ketentuan terkait syarat calon anggota legislatif. Menurut Pasal 240 UU No. 7/2017, syarat-syarat utama untuk menjadi calon anggota DPR/MPR meliputi:
- Warga Negara Indonesia (WNI).
- Usia minimal 21 tahun.
- Tidak sedang dicabut hak politiknya.
- Tidak pernah dipidana karena kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih.
- Usia minimal 21 tahun.
- Tidak sedang dicabut hak politiknya.
- Tidak pernah dipidana karena kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih.
Namun, UU ini tidak mencantumkan kewajiban pendidikan formal minimal seperti gelar sarjana untuk menjadi calon legislatif. Ketentuan ini menegaskan bahwa persyaratan pendidikan tidak dianggap sebagai syarat utama dalam pencalonan anggota legislatif, yang mengarah pada prinsip inclusivity dalam sistem demokrasi Indonesia.
Dalam Pasal 240 Ayat 1 UU Pemilu 2017 disebutkan:
"Calon anggota DPR dan DPD harus memenuhi syarat: a) Warga Negara Indonesia; b) berusia paling rendah 21 tahun; c) tidak sedang dicabut hak politiknya; d) tidak pernah dipidana penjara karena kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih."
Persyaratan ini lebih menekankan pada aspek legalitas dan usia, serta tidak mencantumkan syarat pendidikan. Hal ini memunculkan pertanyaan mengenai implikasi dan rasionalitas kebijakan ini.
3. Konteks Demokrasi dan Keterwakilan Rakyat
3.1. Prinsip Keterwakilan
Demokrasi Indonesia mengusung prinsip keterwakilan rakyat yang luas, di mana setiap warga negara memiliki hak untuk memilih dan dipilih, tanpa membatasi hak politik berdasarkan tingkat pendidikan. Dalam sistem demokrasi Pancasila, peran serta rakyat dalam politik sangat dijunjung tinggi, dan hal ini tercermin dalam ketentuan bahwa tidak ada persyaratan pendidikan yang membatasi calon legislatif.
Sebagai contoh, Tampubolon (2016) mengemukakan bahwa:
"Demokrasi yang inklusif adalah yang memberikan ruang bagi semua kelompok masyarakat, baik yang terdidik maupun tidak, untuk berpartisipasi dalam proses politik. Oleh karena itu, pembatasan pendidikan untuk pencalonan anggota legislatif dapat mengurangi keberagaman dan representasi yang ada di masyarakat."
Ini menegaskan bahwa salah satu tujuan sistem pemilu Indonesia adalah memastikan semua lapisan masyarakat dapat memiliki kesempatan yang sama untuk terlibat dalam pemerintahan, tanpa adanya diskriminasi berdasarkan tingkat pendidikan. Hal ini memungkinkan keterwakilan yang lebih baik dari berbagai kelompok dalam masyarakat, termasuk mereka yang berasal dari latar belakang pendidikan yang lebih rendah.
3.2. Keterbatasan Pendidikan dan Kualitas Legislatif
Meskipun demikian, pembatasan pendidikan ini memunculkan tantangan dalam hal kualitas legislatif. Pendidikan tinggi dianggap memberikan keterampilan berpikir kritis, analisis berbasis data, serta pemahaman yang lebih mendalam tentang permasalahan sosial, ekonomi, dan politik.
Menurut Said (2015) dalam penelitiannya:
"Anggota legislatif yang tidak memiliki pendidikan formal tinggi sering kali kesulitan dalam memahami dan mengkritisi kebijakan pemerintah dengan berbasis analisis yang kuat, yang berisiko pada kurangnya kualitas dalam perundang-undangan."
Dalam konteks ini, meskipun prinsip inklusivitas dan keterwakilan penting, kualitas legislatif yang rendah bisa berdampak pada efektivitas pembuatan kebijakan. Di sisi lain, beberapa anggota legislatif yang memiliki pengalaman politik dan kecakapan komunikasi yang baik, meskipun hanya lulusan SMA, mungkin lebih efektif dalam mewakili konstituen mereka.
4. Tantangan dan Implikasi Praktis
4.1. Pengaruh Partai Politik dalam Meningkatkan Kualitas Legislatif
Partai politik memiliki peran kunci dalam mendukung kualitas calon legislatif, terutama mereka yang mungkin memiliki latar belakang pendidikan terbatas. Melalui pendidikan politik dan pelatihan legislasi, partai-partai dapat membantu calon legislatif untuk memahami tugas mereka, terutama dalam pembuatan undang-undang dan pengawasan kebijakan.
Sebagaimana dikemukakan oleh Ardianto (2019) dalam buku Politik dan Pendidikan: Peran Partai dalam Meningkatkan Kualitas Legislatif:
"Partai politik memegang peran penting dalam memberikan pelatihan kepada calon legislatif untuk memastikan bahwa mereka dapat menjalankan fungsi-fungsi legislatif, meskipun memiliki latar belakang pendidikan yang terbatas."
Ini menunjukkan bahwa meskipun pendidikan formal tidak menjadi syarat wajib, partai politik dapat memberikan kontribusi besar dalam memastikan calon legislatif yang dipilih memiliki kapasitas untuk menjalankan tugas mereka dengan baik.
4.2. Kualitas Kebijakan dan Pengambilan Keputusan
Masalah utama yang sering dihadapi oleh legislatif yang terdiri dari individu dengan pendidikan terbatas adalah ketidakmampuan untuk mengakses informasi yang mendalam dan melakukan analisis yang berbasis riset terhadap kebijakan yang sedang dibahas. Prawira (2017) dalam penelitiannya mengemukakan:
"Pengalaman politik dan keterampilan komunikasi sering kali menjadi lebih penting dibandingkan dengan pendidikan formal dalam konteks politik Indonesia. Meskipun demikian, anggota legislatif yang tidak terlatih secara formal berisiko membuat keputusan yang kurang berdasar atau tidak optimal."
Hal ini menunjukkan bahwa meskipun banyak anggota legislatif dengan latar belakang pendidikan rendah yang memiliki pengalaman politik kuat, terdapat tantangan serius dalam hal kualitas pengambilan keputusan, terutama ketika membahas isu-isu kompleks yang memerlukan analisis mendalam.
5. Perbandingan dengan Negara Lain
Di beberapa negara maju, seperti Amerika Serikat, Kanada, dan sebagian besar negara Eropa, persyaratan untuk menjadi anggota legislatif sering kali lebih ketat, dengan banyak negara yang mengharuskan calon anggota parlemen memiliki gelar sarjana atau pengalaman politik yang substansial. Di sisi lain, di negara berkembang atau negara dengan tingkat pendidikan yang lebih rendah, pembatasan pendidikan dianggap sebagai hambatan yang bisa mengurangi representasi politik yang adil bagi seluruh masyarakat.
6. Kesimpulan
Indonesia, dengan sistem demokrasi yang inklusif, memberikan kesempatan yang sama bagi setiap warga negara untuk berpartisipasi dalam pemilu, meskipun hanya lulusan SMA. Ini mencerminkan prinsip dasar dalam demokrasi Indonesia, yaitu keterwakilan rakyat yang merata, tanpa mengharuskan syarat pendidikan yang tinggi. Namun, di sisi lain, kebijakan ini menghadirkan tantangan dalam hal kualitas legislatif, terutama terkait dengan kemampuan anggota DPR/MPR untuk memahami dan membuat kebijakan yang berbasis riset.
Meski demikian, melalui pendidikan politik yang disediakan oleh partai politik dan penguatan kapasitas legislatif, anggota legislatif yang memiliki latar belakang pendidikan terbatas masih dapat menjalankan fungsi mereka dengan efektif. Namun, perhatian lebih harus diberikan pada kualitas legislatif untuk memastikan bahwa kebijakan yang dihasilkan benar-benar mencerminkan kepentingan masyarakat secara menyeluruh.
Daftar Pustaka
- Tampubolon, F. (2016). Demokrasi Inklusif dan Keterwakilan Politik di Indonesia. Jurnal Demokrasi, 9(2), 120-135.
- Said, M. (2015). Tantangan Pendidikan Politik dalam Meningkatkan Kualitas Legislasi. Jurnal Hukum dan Politik, 11(3), 78-90.
- Ardianto, I. (2019). Politik dan Pendidikan: Peran Partai dalam Meningkatkan Kualitas Legislatif. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.
- Prawira, S. (2017). Pengalaman Politik Sebagai Pengganti Pendidikan Formal dalam Politik Indonesia. Jakarta: Penerbit Sinar Grafika.
- Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
0 Komentar