[gambar]
Mengambil Peran dalam Keluarga: Memahami Keluarga
Dengan intro yang sama, Saya lemparkan sebuah pertanyaan yang terlontar oleh teman tatkala Saya masih kecil:
Kalau Kamu bisa memilih, di keluarga siapa Kamu ingin dilahirkan?
Dengan jawaban tersebut, tanyakan kembali; mengapa?
Dengan perjalanan panjang, dengan semua cerita yang terlintas, akhirnya Saya paham seutuhnya bagaimana sebuah keluarga harmonis adalah sebuah anugerah dan rezeki yang bernilai tak hingga.
Tidak jarang Saya mendengar cerita orang yang tidak betah di rumah dengan alasan kondisi keluarga yang tak nyaman. Sejujurnya, sampai sekarang pun Saya tidak berhasil meresapi bagaimana rasanya berada di posisinya. Hanya saja, dari yang Saya tangkap, sepertinya, itu adalah sebuah jalan hidup yang berat. Berat untuk tumbuh besar di lingkungan tersebut.
Saya percaya setiap keluarga memiliki ujian yang berbeda dengan tingkatan yang berbeda pula. Evolusi perkembangan anggota keluarga berkaitan erat dengan konsep diri yang ada. Ah, konsep keluarga juga pastinya. Tentu saja pengetahuan dalam memahami konsep tersebut menentukan sikap tiap anggota keluarga dalam membangun kepribadiannya atau mungkin kepribadian yang tak sengaja terbentuk dari dinamika dan liku-liku keluarga? Hei, ini timbal balik!.
Sebagai hasil keluaran keluarga yang unik, sebuah dampak akan terasa ketika anggota keluarga, atau sebut saja si anak, membangun keluarga di kehidupan yang baru. Latar belakang dari proses pembentukan karakter yang didapatkan dijadikan bahan pertimbangan dalam penentuan kriteria sebelum dua sejoli melanjutkan kehidupan barunya. Kita sering menyebutnya sebagai babat bibit bubut bebet bobot dalam dunia kekeluargaan, haha!. Apa Kamu mulai memikirkan suatu dalil yang spesifik?.
Kini Kamu paham. Mengetahui keluarga si dia bukan hanya terkait perkara genetis saja, melainkan juga perkara bentukan keluarga di masa depan bersamanya.
Pertanyaannya, apakah Kamu bisa menebak bagaimana kehidupan keluargamu (ketika berhasil) bersama sosok yang Kamu inginkan?
Ah iya, terlupa, tetap tak ada yang bisa mengalahkan takdir dan tiap orang bisa berubah.
Didik Setiawan
Kalau Kamu bisa memilih, di keluarga siapa Kamu ingin dilahirkan?
Dengan jawaban tersebut, tanyakan kembali; mengapa?
Dengan perjalanan panjang, dengan semua cerita yang terlintas, akhirnya Saya paham seutuhnya bagaimana sebuah keluarga harmonis adalah sebuah anugerah dan rezeki yang bernilai tak hingga.
Tidak jarang Saya mendengar cerita orang yang tidak betah di rumah dengan alasan kondisi keluarga yang tak nyaman. Sejujurnya, sampai sekarang pun Saya tidak berhasil meresapi bagaimana rasanya berada di posisinya. Hanya saja, dari yang Saya tangkap, sepertinya, itu adalah sebuah jalan hidup yang berat. Berat untuk tumbuh besar di lingkungan tersebut.
Saya percaya setiap keluarga memiliki ujian yang berbeda dengan tingkatan yang berbeda pula. Evolusi perkembangan anggota keluarga berkaitan erat dengan konsep diri yang ada. Ah, konsep keluarga juga pastinya. Tentu saja pengetahuan dalam memahami konsep tersebut menentukan sikap tiap anggota keluarga dalam membangun kepribadiannya atau mungkin kepribadian yang tak sengaja terbentuk dari dinamika dan liku-liku keluarga? Hei, ini timbal balik!.
Sebagai hasil keluaran keluarga yang unik, sebuah dampak akan terasa ketika anggota keluarga, atau sebut saja si anak, membangun keluarga di kehidupan yang baru. Latar belakang dari proses pembentukan karakter yang didapatkan dijadikan bahan pertimbangan dalam penentuan kriteria sebelum dua sejoli melanjutkan kehidupan barunya. Kita sering menyebutnya sebagai babat bibit bubut bebet bobot dalam dunia kekeluargaan, haha!. Apa Kamu mulai memikirkan suatu dalil yang spesifik?.
Kini Kamu paham. Mengetahui keluarga si dia bukan hanya terkait perkara genetis saja, melainkan juga perkara bentukan keluarga di masa depan bersamanya.
Pertanyaannya, apakah Kamu bisa menebak bagaimana kehidupan keluargamu (ketika berhasil) bersama sosok yang Kamu inginkan?
Ah iya, terlupa, tetap tak ada yang bisa mengalahkan takdir dan tiap orang bisa berubah.
Didik Setiawan
Ahad, 14 Juni 220
21.32
Mengambil Peran dalam Keluarga: Sebagai Anak
“ Seorang anak tetaplah seorang anak bagi kedua orang tuanya “
Sebuah tulisan singkat di masa remaja -yang entah dibaca di mana- cukup mendalam mengendap dalam pikiran. Ia terukir halus tak berubah bagai prasasti abadi dalam pikiran.
Anak yang baik adalah anak yang taat kepada orang tuanya dengan segala aturan norma sosial dan agama yang melekat di dalamnya. Sebagai anak -yang harus membahagiakan orang tua dengan definisi kebahagiaan yang terkesan abstrak pada tiap orang-, kita harus terus menyadari bahwa sebelum takdir memisahkan peran anak tetaplah berjalan.
Orang tua sebagai tempat bergantung, bercerita, bahkan mengadu. Mereka tetaplah orang tua yang mungkin karena keadaan kita yang berubah, perlahan sudah tidak menganggap diri ini sebagai anak yang membutuhkan mereka dalam hubungan orang tua – anak seperti dulu.
Saya tidak tahu bagaimana yang benar, hanya saja Saya percaya bahwa perlu bagi seorang anak untuk memberikan rasa-rasa orang tua kepemilikan diri ini. Mungkin pandangan in terbentuk dari latar Saya sebagai laki-laki yang terikat sebuah norma, mungkin? atau sebuah aturan tak tertulis yang menyatakan bahwa selamanya laki-laki adalah milik ibunya? sehingga cukup membuat Saya menjaga ikatan kuat kepada orang tua, entahlah.
Yang Saya percayai adalah nilai-nilai tersebut cukup menjaga ikatan kuat dalam menentukan tindakkan dan peran Saya sebagai anak dalam keluarga, terlepas dari usia yang terlewatkan. Saya percaya, definisi membahagiakan kedua orang tua, makna berbakti kepada orang tua, akan terasa lebih mudah dipahami dengan mengenal dan memahami peran kita sebagai anak dalam keluarga.
Alasannya sederhana, karena tanpa mereka kita tidak akan ada, tanpa mereka status kita sebagai anak tidak ada, karena merekalah orang tua kita.
Didik Setiawan
Ahad, 14 Juni 220
21.50
Mengambil Peran dalam Keluarga: Sebagai Kakak
Saya sering membaca keinginan banyak perempuan yang ingin memiliki kakak laki-laki dengan alasan yang cukup homogen. Katanya, keberadaan sosok yang melindungi dibutuhkan untuk mendukung ketenteraman jiwanya.
Saya pun sempat berpikir, apakah adik perempuan Saya termasuk perempuan yang beruntung karena memiliki kakak laki-laki seperti Saya?
Ini bermula ketika Saya menginjak masa putih biru. Momen ketika pertama kalinya Saya menyadari bahwa sebagian perempuan membutuhkan kakak laki-laki. Tapi lucunya, Saya tidak pernah mengetahui perkataan sebaliknya. Saya tak pernah mendengar atau membaca ada laki-laki yang menginginkan kakak perempuan, sebegitu menginginkannya maksudku.
Kesadaran akan posisi sebagai kakak cukup mengguncang kejiwaan masa remaja. Perlahan Saya sadari bahwa pertikaian sepele bersama adik tidak lain hanyalah alibi konspirasi dalam memperebutkan perhatian orang tua. Ya, akhirnya pada masa SMP Saya sadar bahwa semua pertikaian kakak-adik yang Saya lalui hanya bertujuan menarik perhatian orang tua.
Saya mulai menyadari bahwa dalam tiap perselisihan yang terjadi selalu berhasil menarik minat orang tua kami untuk melerai, nyaris selalu berhasil. Rasa ingin dibela dan dimenangkan oleh orang tua selalu muncul saat berselisih. Di perselisihan terakhir saat itu, sejak saat itu, sejak kesadaran itu, Saya putuskan untuk mengambil pilihan mengalah.
Jika memang substansi dari pertengkaran hanyalah perebutan perhatian, maka kini adalah waktunya Adik saya untuk mendapatkan perhatian yang lebih. Sederhana alasannya, secara teknis Saya sudah mendapatkan kasih sayang yang lebih banyak daripada si Adik. Saya pernah bertahun-tahun menjadi anak kesayangan satu-satunya, tapi adik Saya tak pernah merasakannya. Jadi, mengapa Saya masih harus bertengkar jika ternyata tujuannya adalah kasih sayang orang tua? bukankah kemenangan Saya dalam pertengkaran hanya membuktikan egoisme semata? sosok serakah akan kasih sayang kedua orang tua?.
Ada beban lain yang tertumpu pada pundak seorang kakak; role model. Bahkan hingga masa putih abu-abu usai, Saya terus memikirkan bagaimana Saya bisa menjadi sosok panutan baginya. Naasnya, terus memikirkan sosok ideal yang menginspirasi bagi sosok adik hanyalah menjadi hambatan dalam menunjukkan performa diri sebagai kakak. Saya putuskan untuk berhenti, bukaan berhenti menjadi sosok panutan, tapi berhenti memikirkan hal tersebut sebagai beban.
Saya jalani hidup dengan maksimal, bukan optimal. Saya berikan versi terbaik yang bisa ditampilkan pada keluarga, khususnya adik. Tidak, ini bukan persoalan menggunakan topeng dan menunjukkan sisi terbaik, melainkan membiasakan diri menjadi sosok yang terbaik dari diri.
Sebagai perempuan spesial kedua setelah ibu, tentunya, Saya rasa dia harus mendapatkan apa yang memang spesial dari diri Saya pribadi. Antar jemput dan bimbingan belajar adalah sebuah keniscayaan kita sebagai seorang kakak. Akhirnya, Saya rasa, merayakan ulang tahunnya dengan cara yang berbeda adalah cara yang benar.
Ini bukan perayaan seperti yang Kamu pikirkan. Perayaan di sini hanya sebuah ritual klasik nan sederhana; ucapan ulang tahun. Konsepnya bukan untuk membangun kesan megah yang wah, melainkan upaya pembentukan rasa unik di tiap tahun dengan cara yang kreatif. Ya, tiap tahun Saya terus memikirkan konsep ulang tahun yang berbeda untuknya.
Tahu kenapa?
Karena ia adalah perempuan yang paling berhak mendapatkan hal itu semua.
Didik Setiawan
Ahad, 14 Juni 220
21.10
Ahad, 14 Juni 220
21.10
1 Komentar
Oho, ohooo
BalasHapus