Link tweet Saya
Dulu sempat berpikir dan berkeinginan sebelum kuliah “kayaknya seru deh kuliah bisa nge-date dan jalan-jalan di banyak tempat di Yogya”. Sebuah gagasan yang ternyata nggak baik dan nggak tahu kalau hal itu nggak baik di masa lalu.
Dulu sempat berpikir dan berkeinginan sebelum kuliah “kayaknya seru deh kuliah bisa nge-date dan jalan-jalan di banyak tempat di Yogya”. Sebuah gagasan yang ternyata nggak baik dan nggak tahu kalau hal itu nggak baik di masa lalu.
Ide-ide seperti itu cukup lama bersarang dalam pikiran hingga takdir ‘menjebak’ Saya dengan lingkungan yang islami. Keterpaksaan dalam belajar agama membuat logika agama Saya berkembang. Pemahaman yang Saya anut dan kritisi tentang Islam di masa lalu tidak lain hanyalah sebuah kegagalan sistem pendidikan agama yang Saya serap.
Ambillah kasus nge-date dan jalan itu tadi. Secara teknis, secara bahasa jika diterjemahkan yang Saya pikirkan saat itu adalah kencan. Sebuah istilah yang cukup asing tapi sering dijumpai. Pikiran tersebut lahir karena keterbatasan pengetahuan mengenai konsep kencan itu sendiri. Yang Saya pikirkan adalah “wah, kayaknya asih deh bisa jalan-jalan bareng cewek di tempat-tempat yang seru sambil cerita banyak hal” sebuah angan yang sepertinya sangat indah untuk dilakukan. Perlahan-lahan, akhirnya Saya paham akan adanya konsep lain dibalik sebuah larangan ‘itu’.
Barulah saat kuliah Saya berani untuk berdiskusi dengan perempuan terkait konsep kencan. Ini adalah pembicaraan yang cukup berisiko dan diperlukan kehati-hatian dalam mengeksekusinya untuk memisahkan komponen agama – perasaan – interaksi lawan jenis – keinginan berpetualang.
Kalau mau dibuat simplifikasi kasar, larangan tersebut itu akan merujuk pada salah satu akar yang fundamental, yakni perempuan yang berperasaan dalam menanggapi sebuah momen. Ending-nya kembali kepada sakit hati atau tidak. Sangat jauh, tapi itu yang Saya dapatkan di akhir pencarian informasi. Ini hanyalah salah satu akar, masih ada akar lainnya.
Logika perempuan memiliki jalan yang aneh dalam prosesnya. Mudahnya, jika laki-laki punya sistem berpikir ‘jika A maka B, jika C maka D’ maka si perempuan punya sistem “Jika A maka B apabila C berkaitan dengan D tanpa terhubung dengan E dengan F adalah dampak A dan B tidak menyebabkan G” poinnya bukan di tingkat kerumitan, tapi pada tingkat pelibatan yang bahkan tak perlu dipertimbangkan. Saya paham kok kalau memang perempuan punya target sama-sama senang dan tidak ada yang dirugikan (baca: win-win solution), beda dengan laki-laki yang fokus pada hasil, efektivitas, dan efisiensi. Oleh karenanya Saya sangat setuju dengan “Men Are from Mars, Women Are from Venus”.
Fenomena seperti ini yang menggugah minat Saya pada pembicaraan dengan perempuan. Bagaimana mereka memaknai suatu hal secara berlebihan (padahal sangat biasa dalam kacamata laki-laki) yang mengakibatkan mereka sendiri terjerembap dalam kebingungan, terus menerka kemungkinan yang bahkan sangat jauh dari substansi hal tersebut, dan akhirnya tidak tahu harus bagaimana. Padahal, hal itu sangat sederhana dan tidak memiliki makna yang dalam. Seperti renyahnya biskuit yang memberikan sensasi menyenangkan di mulut, tapi biasa saja saat sudah sampai perut. Tak ada tujuan kenyang, hanya renyah yang bikin senang.
Dasar sederhana kerap memicu pertikaian ideologi. Hal biasa yang sederhana bisa menjadi luar biasa dengan komplekstivitas yang tak terbayangkan. Makna bepergian bersama (baca: kencan, padahal pure jalan-jalan saja) bisa dimaknai jauh berbeda antara laki-laki dan perempuan. Menariknya, pada akhirnya kita setuju dengan persepsi perempuan dan bahkan secara sadar kita akui sebagai sebuah kebenaran publik.
Kita percaya, tatkala ada laki-laki dan perempuan bepergian bersama tidak membuktikan bahwa terdapat suatu hubungan romantis di antara keduanya. Tapi kita percaya, kita merasa, ada sesuatu hal spesial, atau minimal hal tertentu ,yang mengarahkan pikiran kita akan keberadaan ‘suatu hubungan khusus’ di antara keduanya. Padahal itu tadi, dengan logika laki-laki, kita bisa berpikir bahwa ada terlalu banyak hal yang mengakibatkan sepasang manusia bisa pergi berdua, tapi dengan persepsi perempuan, kita akhirnya diarahkan pada kacamata yang lebih menarik, lebih berperasaan, lebih membawa praduga yang membuat kita terus berpikir: kok bisa ya? Kenapa ya? Jangan-jangan? Sejak kapan? Dst.
Pembatasan interaksi dalam konsep penjagaan hati bertujuan untuk melindungi perempuan dari liarnya perasaan tersebut. Kecenderungan untuk menerka sebuah plot twist tentu akan membuat siapa pun bergidik tatkala disadarkan bahwa tidak ada yang luar biasa.
Betul, ini adalah sebuah sistem keamanan, eh, keselamatan. Safety, not security. Sebuah sistem yang dibuat untuk mencegah self destruction yang tertanam pada perasaan manusia, sebuah sistem yang lebih mudah terpicu pada diri perempuan.
Karena biar bagaimana pun, sebuah sistem perlindungan tentunya akan fokus pada pencegahan dari kegagalan sistem bukan?.
Didik Setiawan
Rabu, 24 Juni 2020
21.40
Didik Setiawan
Rabu, 24 Juni 2020
21.40
0 Komentar