Link kicauan Saya
Jumat, 5 Juni 2020 lalu masjid sudah mulai dibuka. Sholat Jumat mulai diselenggarakan kembali, tapi di daerah rumah belum terdengar adzan saat itu. Barulah 12 Juni adzan terdengar saling bersahutan. Sesuai anjuran; Renggang dan tetap ada pembagian makanan seperti biasa.
Sejak lebaran sudah tak terdengar lagi ‘shollu fii buyutikum’ padahal kasus masih tetap banyak. Belum lama kami melewati 1000an kasus per hari. Saya yakin pemerintah sudah mempertimbangkan semuanya sih.
Kondisi sekarang secara statistik lebih parah dari kondisi sebulan lalu kalau melihat data nasional. Tentu saja, perkembangan tiap wilayah berbeda. Jakarta dan sekitarnya sudah cenderung aman, episentrum bergeser ke daerah timur. Surabaya terkenal sebagai zona hitam, padahal warnanya merah tua. Kita memang suka membesar-besarkan hal buruk, nggak heran sih.
Yang menarik adalah sebuah meme yang menggambarkan betapa santainya masyarakat melihat data statistik yang begitu besar. Padahal, kalau diingat ketika kasus masih sedikit, masyarakat begitu ketakutan. Pemerintah masih stabil memberikan himbauan (ya memang seharusnya begitu) meskipun saat ini sedang diserang, tepatnya dikritisi sih, akibat lomba berhadiah miliaran rupiah.
Alasan para penyerang sangat masuk akal. Mereka mempertanyakan ‘di mana akal’ si penyelenggara lomba? Maksudnya, mengapa diadakan lomba seperti itu? Lomba video New Normal. Sederhana saja sih alasannya, pemerintah hanya mencoba memberikan apresiasi dan motivasi pada kita yang terus di rumah. Kita yang menjadi kreatif di rumah, kita yang makin produktif membuat video. Nalar seperti ini memang tidak bisa dipahami semua orang. Saya pikir juga masih lebih baik uangnya diberikan para saintis yang mati-matian mencari solusi wabah ini (karena sudah terlalu banyak apresiasi kepada tenaga kesehatan).
Kembali ke meme tadi. Akhirnya Saya paham sepenuhnya bagaimana sudut pandang orang yang melihat kasus sebagai statistik. Ya, salah satunya jenuh. Kita semua pada awalnya sangat takut dengan wabah ini. Pertambahan jumlah kasus sedikit demi sedikit terus memupuk rasa takut kita. Hingga akhirnya kasus terus bertambah dan -mungkin karena bosan- kita makin santai dengan keadaan, mereka menyebutnya ‘berdamai dengan corona’. Pemerintah masih rajin memberi himbauan di SMS, TV, Internet, di banyak media lah, tapi kita sebagai masyarakat sudah ‘santai’. Nah, sekarang gunakan kacamata yang sama dalam melihat kasus pembunuhan. Bagaimana kita masyarakat mempertanyakan pihak tertentu mengenai kasus pembunuhan skala besar sebagai statistik. Tentu saja beda kasus, beda konteks, tapi kacamatanya sama; beberapa adalah tragedi, kuantitas besar adalah statistik.
Kondisi wabah sekarang di dunia cukup heterogen; ada yang sudah beres seperti New Zealand, banyak yang sudah mulai normal secara harfiah. Tapi tetap saja masih ada berita tentang virus baru yang katanya 10 kali lebih cepat menyebar, kemungkinan gelombang kedua karena sudah selesai lebaran, atau berita kesehatan lainnya yang serupa. Ya sudahlah.
Kebijakan pendidikan di Indonesia masih bervariasi (tentu saja karena perkembangan daerah berbeda). Ada yang mengatakan zona hijau sudah boleh kuliah, sekolah ditunda hingga 2021, Filipina baru masuk setelah vaksin ditemukan dll. Yang pasti, Saya turut prihatin untuk mereka yang lulus saat wabah, wisuda online, dan yang tidak merasakan selebrasi sekolah dan kampus.
Ah iya, sekarang sedang nge-trend bersepeda dan bermain layangan. Sebuah tren yang cukup berkesan bagi Saya. Pegiat lingkungan tersenyum melihat hal ini.
Didik Setiawan
Rabu, 24 Juni 2020
14.58
Didik Setiawan
Rabu, 24 Juni 2020
14.58
0 Komentar