Terdapat suatu perbedaan yang jelas antara obrolan via teks dan obrolan langsung. Saya sendiri jelas lebih suka obrolan langsung, selain tingginya privasi, pesan yang tertukarkan juga memiliki keberhasilan yang tinggi untuk dimengerti secara jelas. Tapi ya memang, salah satu keunggulan obrolan teks adalah fleksibilitasnya yang tinggi, tidak terikat ruang dan waktu. Bisa direspons nanti, besok, atau tidak direspons sama sekali.
Dari setiap percakapan yang terjadi, Saya selalu berusaha mengingat kualitas yang terbentuk. Sejatinya percakapan memiliki tujuan meskipun hanya digunakan untuk membunuh waktu. Percakapan atau kita lebih familier dengan kata obrolan merupakan sebuah konsep komunikasi yang selalu dibutuhkan.
Obrolan sendiri bertumpu pada banyak hal. Jenis kelamin dan karakter seseorang sangat menentukan bagaimana ia membangun sebuah obrolan. Tak ada yang berbahaya dalam proses mengobrol. Pada umumnya, yang berbahaya adalah ketika sebuah keburukan bermula dari sini dan sudah menjadi pengetahuan umum bahwa hanya dari sebuah obrolan banyak hal bisa hancur, apa pun itu.
Secara default, perempuan lebih suka mengobrol dari laki-laki, ini adalah sebuah hukum alam yang hampir tak terelakkan. Tapi bukan berarti semua laki-laki pendiam, tidak. Ini hanyalah sebuah kecenderungan si mayoritas pada sebuah populasi umum. Serupa dengan “jika perempuan cenderung hangat, maka laki-laki cenderung dingin”. Penekanan yang terjadi bukan terletak pada konsep invers, tetapi pada jurang perbedaan yang nyata. Sebuah perbedaan yang jika bertemu bisa mengakibatkan sebuah konflik atau pun sebuah sinergi karena menciptakan sebuah kesempurnaan.
Saya punya stigma pribadi dalam sebuah obrolan: laki-laki umumnya menyampaikan sebuah atau dua buah kalimat, sedangkan perempuan umumnya menyampaikan sebuah paragraf. Kepercayaan yang Saya anut ini jarang kali terbantahkan. Secara beriringan, fakta semacam ini seharusnya membentuk laki-laki menjadi seorang pendengar ulung.
Dalam kehidupan yang telah berlalu, Saya sempat melakukan eksperimen dengan diri sendiri untuk mencari perbedaan nyata antara obrolan laki-laki dan perempuan serta keterkaitannya dengan sikap dalam mengobrol. Hasilnya memang sangat biasa dan malah tidak penting.
XY : Gimana tadi belanja di pasar?
XY : Ramai tadi, ngantri panjang
XY : Gimana tadi belanja di pasar?
XX : Ramai banget, antrean panjang sampai parkiran penuh orang, keliatan pada kecepekan
Laki-laki menyampaikan sebuah informasi padat yang berguna dan berhenti sampai di situ, tak perlu lagi ada yang dijelaskan. Sedangkan, sering kali perempuan menyisipkan pesan emosi yang Saya sendiri sebagai laki-laki merasa hal tersebut tidaklah penting. Entahlah, mungkin menurut perempuan informasi tersebut dianggap penting. Pada akhirnya, percakapan dengan perempuan justru memicu percakapan selanjutnya lantaran kerap memicu rasa penasaran. Meskipun begitu, tak bisa dipungkiri bahwa karakter seseorang dalam menyampaikan suatu hal sangat berperan besar. Tentunya, kedekatan emosional yang ada juga memberikan kontribusi yang signifikan.
Konsekuensi lainnya yang terjadi adalah laki-laki akan terbiasa dengan beragam topik yang bisa dikatakan hampir tak terbatas. Kebutuhan manusia untuk terus mengobrol memaksa laki-laki untuk terus berbicara. Jika suatu topik habis, maka kami akan terus mencari topik lain yang tentunya jarang melibatkan perasaan karena bagi kami tidaklah begitu penting konten suatu perasaan dalam suatu obrolan. Yang terpenting adalah informasi dan tujuan yang didapatkan dari sebuah percakapan. Hal seperti inilah yang melatih laki-laki secara nyata untuk menghindari diri dari gibah itu sendiri.
Sedangkan, dari pengalaman mengobrol bersama perempuan, konten emosional yang disisipkan selalu berhasil memantik rasa penasaran berkelanjutan yang hampir tak pernah usai, seperti contoh singkat sebelumnya. Pertukaran informasi yang bersifat emosional membentuk perempuan menjadi sosok yang memiliki sangat banyak persepsi perasaan dari orang lain dan dirinya sendiri. Konsep pemahaman masalah yang begitu dalam mengakibatkan mereka akan sensitif dengan banyak hal yang bagi laki-laki sendiri tidaklah penting. Pemahaman dunia yang lebih dalam secara perlahan membentuk mereka menjadi sosok yang lebih dewasa dari laki-laki pada usia yang sama. Alasannya jelas, mereka memiliki referensi permasalahan hidup yang jauh lebih banyak -yang didapatkan dari pertukaran informasi emosional. Saya sendiri baru menyadari hal seperti ini di tahun keempat kuliah.
Seperti yang Saya katakan sebelumnya, dua perbedaan ini akan semakin lebar dan mau tidak mau akan bersatu dalam sebuah pernikahan -kecuali Anda tidak menikah- dan berpotensi menjadi sebuah konflik tragis atau sinergi harmonis. Semuanya bergantung pada pilihan masing-masing dan kesepakatan yang akan diambil.
Dari konsep semacam ini sebenarnya bisa dibuat sebuah ekstrapolasi untuk menebak apa yang sebenarnya terjadi pada si pendiam. Di titik ini, mari kita pertegas perbedaan antara pendiam, introvert, dan pemalu.
Pendiam yang dimaksud adalah sebuah sikap atau karakter yang pada tulisan ini diasumsikan terlepas dari introvert dan pemalu. Memang sangat erat hubungan mereka bertiga, akan tetapi dengan memahami konsep pendiam secara independen kita bisa menelusuri apa yang sebenarnya terjadi pada sosok pendiam.
Umumnya, perempuan jarang menjadi sosok yang pendiam. Jika menemukannya, Saya berani bilang bahwa orang itu adalah sosok yang sangat unik dan langka. Sedangkan, laki-laki yang pendiam sering kali disebabkan karena pemalu atau sering juga karena tidak memiliki topik pembicaraan. Tapi, fakta menunjukkan bahwa mayoritas orang adalah pendiam pada kondisi awal, kita menyebutnya sebagai sikap jaga image atau dalam kepercayaan klasik kita katakan dengan "dulu pas baru kenal pendiam banget, eh pas udah kenal nggak bisa diem". Ada sebuah konsep lain yang terhubung di sini; kepercayaan dan kenyamanan. Memang pendiam memiliki konsep yang saling bertumpuk, hal yang sangat gayut satu sama lain, oleh karenanya mari kita bahas berurutan.
Perempuan default-nya bukan pendiam. Tapi bukan berarti tidak ada yang pendiam. Umumnya, diamnya mereka dipengaruhi oleh kepercayaan dan kenyamanan dengan lawan interaksi. Bagian ini dibahas di bagian selanjutnya.
Laki-laki pendiam umumnya terjadi karena berada di lingkungan yang tak sesuai dengan minat mereka. Ia berada di lingkungan yang tidak sesuai dengan ideologi yang ia punya dan akhirnya ia tidak memiliki topik untuk dibahas. Saat Saya bertanya pada teman-teman, umumnya mereka berkata "Aku nggak ngerti apa yang mereka obrolin, makanya diem aja". Sedangkan, mereka yang mengaku sebagai pemalu, Saya tidak punya ide untuk mereka. Mau bagaimana lagi? enggan untuk menyampaikan bahan obrolan adalah sebuah alasan nyata yang jelas.
Diamnya seseorang, mayoritas orang, termasuk kita, disebabkan oleh rasa belum percaya terhadap lawan interaksi dan/atau lingkungan yang menjadi 'tempat hidup baru'. Dinding ini umumnya runtuh seiring berjalannya waktu. Dinding ini adalah lapisan paling luar dari karakter seseorang. Ketika dinding ini hilang, kita bisa melihat sekitar 65% dari karakter seseorang. Pada bagian inilah pertemanan terjalin.
Dinding kedua adalah kenyamanan. Meruntuhkan kenyamanan membutuhkan trik khusus yang sangat spesifik. Tentu saja apa yang berada di dalamnya sangat berharga, sekitar >85% karakter seseorang. Pada dinding ini kita akan menjumpai orang yang cerewet padahal terlihat pendiam, siap pun itu. Pada bagian inilah persahabatan, adik-kakak zone, friendzone, sugar baby-daddy, dan cinta terjalin. Pengetahuan dan algoritma dalam membobol dinding ini menentukan relasi seperti apa yang akan terjalin ke depannya. Karena biar bagaimanapun semua terpicu dari sebuah obrolan bukan?.
Ada dua komponen fisik yang Saya curigai, pertama adalah wajah yang ditatap untuk menghargai lawan interaksi dan yang kedua adalah suara sebagai medium perantaranya. Paras yang elok dan suara yang lembut menjadi ketertarikan nyata yang tak terhindarkan.
Paras yang menawan selalu memicu pikiran untuk terus berpikir bagaimana untuk memperpanjang obrolan. Alhasil, pada saat kuliah Saya pun mencoba meminimalkan komponen wajah untuk mengetahui seberapa besar komponen suara berdampak pada suatu obrolan.
Hasilnya memang tak terhindarkan, suara yang lembut memang jauh lebih menarik dari suara yang biasa-biasa saja, Saya rasa sampai di sini naluri masih mendominasi. Saya sendiri mengategorikan suara perempuan dalam 3 kategori. Pertama, suara semi cowok untuk suara datar yang kadang tersamarkan hingga dikira suara laki-laki yang datar. Kedua, suara cewek yang umumnya dimiliki oleh mayoritas perempuan, dan yang ketiga adalah suara yang cewek banget untuk suara perempuan yang benar-benar menunjukkan perbedaan yang sangat jelas dengan suara laki-laki.
Tiga kategori tersebut hanyalah kategorisasi versi Saya yang didapatkan dengan tak memandang mereka, obrolan netral, dan mereka pun nampaknya berada pada kondisi normal. Mereka bisa mengubah mode tersebut secara sengaja atau tidak, tapi entahlah, tetap saja terdapat sebuah karakter suara yang sangat khas yang dimiliki tiap orang. Dengan menghilangkan pertimbangan karakter suara, topik obrolan yang di bawa perempuan secara nyata memang selalu tidak sedatar topik yang dibawa laki-laki. Atau, mungkin semua ini subjektif, karena Saya laki-laki makanya bisa memandang suara mereka seperti ini, hmmm.
Dalam mata kuliah instrumentasi sistem audio, salah satu penerapannya terletak pada teknologi penyadapan telepon. Penyadapan suara secara sederhana menggunakan analisis ini untuk mencari karakter suara seseorang di semua jalur komunikasi. Tentu saja dahulunya ini adalah salah satu teknologi militer. Dengan teknologi ini, kita bisa memetakan makhluk hidup di hutan, menghitung jumlah hewan, dan mengetahui eksistensi fauna tertentu.
Biar Saya berikan sebuah analogi. Anggaplah suara adalah sebuah air manis. Air manis bisa tercipta dari air yang dilarutkan dengan gula, madu, sakarin, aspartam, ekstrak buah, atau yang lainnya. Untuk menyadap atau menemukan sebuah zat manis, kita bisa mengekstrak air manis menjadi zat manis itu sendiri, misal saja aspartam. Kemudian, pada jalur komunikasi, atau aliran zat manis, anggaplah sekarung zat manis. Untuk menyadap kita hanya perlu menemukan aspartam pada sekarung zat manis. Sampai bagian sini dunia koding mengambil alih.
Sebenarnya sudah keluar topik sih, tapi Saya pikir suara berkaitan erat dengan obrolan langsung, makanya perlu untuk memberikan sebuah pengetahuan yang mungkin berguna. Sedangkan, untuk obrolan tak langsung akan lebih seru jika membahas teknologi enkripsi-dekripsi. Tentunya Saya begitu malas untuk membahas hal tersebut mengingat tulisan ini sudah terlalu panjang.
Saya masih memikirkan bagaimana cara untuk mengakhiri tulisan ini, tidak ada quote yang bagus, jadi akan Saya akhiri dengan paragraf yang memiliki rima.
Obrolan adalah kata benda
Obrolan adalah senjata kuat bak gada
Benda yang memicu waspada
Senjata penghancur yang terpantik dari suatu beda
Obrolan juga merupakan benda pembangun
Sebuah pembangun yang anggun
Dengannya kita dapat menghimpun
Membuat siapa pun jadi tekun
Layaknya kebutuhan, tentu ada batas dalam obrol
Tentu saja perlu ditahan, agar tak menjadi tolol
Seperti kecerobohan, sebuah petaka terpicu dalam banyol
Atau bisa juga ketagihan, menyerbak bak aerosol
Sebuah kebutuhan pastinya dituntut untuk selalu dipenuhi. Kekurangannya bisa memicu sebuah emosi. Penuhnya kebutuhan tak selalu menjamin anestesi, sedangkan menjaganya dalam batas aman adalah sebuah cara untuk menunjukkan sebuah pengendalian diri yang terpenuhi.
Bekasi, 31 Januari 2019
22.06
Didik Setiawan
Dari setiap percakapan yang terjadi, Saya selalu berusaha mengingat kualitas yang terbentuk. Sejatinya percakapan memiliki tujuan meskipun hanya digunakan untuk membunuh waktu. Percakapan atau kita lebih familier dengan kata obrolan merupakan sebuah konsep komunikasi yang selalu dibutuhkan.
Obrolan sendiri bertumpu pada banyak hal. Jenis kelamin dan karakter seseorang sangat menentukan bagaimana ia membangun sebuah obrolan. Tak ada yang berbahaya dalam proses mengobrol. Pada umumnya, yang berbahaya adalah ketika sebuah keburukan bermula dari sini dan sudah menjadi pengetahuan umum bahwa hanya dari sebuah obrolan banyak hal bisa hancur, apa pun itu.
Secara default, perempuan lebih suka mengobrol dari laki-laki, ini adalah sebuah hukum alam yang hampir tak terelakkan. Tapi bukan berarti semua laki-laki pendiam, tidak. Ini hanyalah sebuah kecenderungan si mayoritas pada sebuah populasi umum. Serupa dengan “jika perempuan cenderung hangat, maka laki-laki cenderung dingin”. Penekanan yang terjadi bukan terletak pada konsep invers, tetapi pada jurang perbedaan yang nyata. Sebuah perbedaan yang jika bertemu bisa mengakibatkan sebuah konflik atau pun sebuah sinergi karena menciptakan sebuah kesempurnaan.
Saya punya stigma pribadi dalam sebuah obrolan: laki-laki umumnya menyampaikan sebuah atau dua buah kalimat, sedangkan perempuan umumnya menyampaikan sebuah paragraf. Kepercayaan yang Saya anut ini jarang kali terbantahkan. Secara beriringan, fakta semacam ini seharusnya membentuk laki-laki menjadi seorang pendengar ulung.
Dalam kehidupan yang telah berlalu, Saya sempat melakukan eksperimen dengan diri sendiri untuk mencari perbedaan nyata antara obrolan laki-laki dan perempuan serta keterkaitannya dengan sikap dalam mengobrol. Hasilnya memang sangat biasa dan malah tidak penting.
Perbedaan
Laki-laki dikenal sebagai pihak yang dapat mengobrol dengan beragam topik, sedangkan perempuan dikenal dengan gibahnya. Bertahun-tahun Saya terus menyelidiki mengapa hal ini terjadi. Dengan ribuan percakapan yang telah terlewati, akhirnya Saya menemukan satu substansi penting. Lagi-lagi, substansi tersebut memang berasal dari akal dan perasaan yang mendominasi di masing-masing pihak. Biar saya beri sebuah simulasi percakapan.XY : Gimana tadi belanja di pasar?
XY : Ramai tadi, ngantri panjang
XY : Gimana tadi belanja di pasar?
XX : Ramai banget, antrean panjang sampai parkiran penuh orang, keliatan pada kecepekan
Laki-laki menyampaikan sebuah informasi padat yang berguna dan berhenti sampai di situ, tak perlu lagi ada yang dijelaskan. Sedangkan, sering kali perempuan menyisipkan pesan emosi yang Saya sendiri sebagai laki-laki merasa hal tersebut tidaklah penting. Entahlah, mungkin menurut perempuan informasi tersebut dianggap penting. Pada akhirnya, percakapan dengan perempuan justru memicu percakapan selanjutnya lantaran kerap memicu rasa penasaran. Meskipun begitu, tak bisa dipungkiri bahwa karakter seseorang dalam menyampaikan suatu hal sangat berperan besar. Tentunya, kedekatan emosional yang ada juga memberikan kontribusi yang signifikan.
Konsekuensi lainnya yang terjadi adalah laki-laki akan terbiasa dengan beragam topik yang bisa dikatakan hampir tak terbatas. Kebutuhan manusia untuk terus mengobrol memaksa laki-laki untuk terus berbicara. Jika suatu topik habis, maka kami akan terus mencari topik lain yang tentunya jarang melibatkan perasaan karena bagi kami tidaklah begitu penting konten suatu perasaan dalam suatu obrolan. Yang terpenting adalah informasi dan tujuan yang didapatkan dari sebuah percakapan. Hal seperti inilah yang melatih laki-laki secara nyata untuk menghindari diri dari gibah itu sendiri.
Sedangkan, dari pengalaman mengobrol bersama perempuan, konten emosional yang disisipkan selalu berhasil memantik rasa penasaran berkelanjutan yang hampir tak pernah usai, seperti contoh singkat sebelumnya. Pertukaran informasi yang bersifat emosional membentuk perempuan menjadi sosok yang memiliki sangat banyak persepsi perasaan dari orang lain dan dirinya sendiri. Konsep pemahaman masalah yang begitu dalam mengakibatkan mereka akan sensitif dengan banyak hal yang bagi laki-laki sendiri tidaklah penting. Pemahaman dunia yang lebih dalam secara perlahan membentuk mereka menjadi sosok yang lebih dewasa dari laki-laki pada usia yang sama. Alasannya jelas, mereka memiliki referensi permasalahan hidup yang jauh lebih banyak -yang didapatkan dari pertukaran informasi emosional. Saya sendiri baru menyadari hal seperti ini di tahun keempat kuliah.
Seperti yang Saya katakan sebelumnya, dua perbedaan ini akan semakin lebar dan mau tidak mau akan bersatu dalam sebuah pernikahan -kecuali Anda tidak menikah- dan berpotensi menjadi sebuah konflik tragis atau sinergi harmonis. Semuanya bergantung pada pilihan masing-masing dan kesepakatan yang akan diambil.
Dari konsep semacam ini sebenarnya bisa dibuat sebuah ekstrapolasi untuk menebak apa yang sebenarnya terjadi pada si pendiam. Di titik ini, mari kita pertegas perbedaan antara pendiam, introvert, dan pemalu.
Si pendiam
Si pendiam adalah orang yang sering diam, apa pun alasannya. Introvert adalah orang yang punya banyak energi saat sendirian. Pemalu adalah orang yang agak ragu -atau bahkan ragu- untuk mengekspresikan dirinya di muka publik. Tiga hal yang berbeda dan mungkin serupa, namun kita tidak boleh memukul rata bahwa semuanya sama.Pendiam yang dimaksud adalah sebuah sikap atau karakter yang pada tulisan ini diasumsikan terlepas dari introvert dan pemalu. Memang sangat erat hubungan mereka bertiga, akan tetapi dengan memahami konsep pendiam secara independen kita bisa menelusuri apa yang sebenarnya terjadi pada sosok pendiam.
Umumnya, perempuan jarang menjadi sosok yang pendiam. Jika menemukannya, Saya berani bilang bahwa orang itu adalah sosok yang sangat unik dan langka. Sedangkan, laki-laki yang pendiam sering kali disebabkan karena pemalu atau sering juga karena tidak memiliki topik pembicaraan. Tapi, fakta menunjukkan bahwa mayoritas orang adalah pendiam pada kondisi awal, kita menyebutnya sebagai sikap jaga image atau dalam kepercayaan klasik kita katakan dengan "dulu pas baru kenal pendiam banget, eh pas udah kenal nggak bisa diem". Ada sebuah konsep lain yang terhubung di sini; kepercayaan dan kenyamanan. Memang pendiam memiliki konsep yang saling bertumpuk, hal yang sangat gayut satu sama lain, oleh karenanya mari kita bahas berurutan.
Perempuan default-nya bukan pendiam. Tapi bukan berarti tidak ada yang pendiam. Umumnya, diamnya mereka dipengaruhi oleh kepercayaan dan kenyamanan dengan lawan interaksi. Bagian ini dibahas di bagian selanjutnya.
Laki-laki pendiam umumnya terjadi karena berada di lingkungan yang tak sesuai dengan minat mereka. Ia berada di lingkungan yang tidak sesuai dengan ideologi yang ia punya dan akhirnya ia tidak memiliki topik untuk dibahas. Saat Saya bertanya pada teman-teman, umumnya mereka berkata "Aku nggak ngerti apa yang mereka obrolin, makanya diem aja". Sedangkan, mereka yang mengaku sebagai pemalu, Saya tidak punya ide untuk mereka. Mau bagaimana lagi? enggan untuk menyampaikan bahan obrolan adalah sebuah alasan nyata yang jelas.
Semua awalnya pendiam
Pendiam karena berada di lingkungan baru merupakan sebuah fakta yang hampir selalu ditemukan di mana pun kapan pun siapa pun, kecuali oleh mereka yang ekstrovert dan ekspresif. Sikap pendiam seperti ini dipicu oleh sebuah dinding yang Saya sebut sebagai batas kepercayaan dan kenyamanan. Mari kita bahas.Diamnya seseorang, mayoritas orang, termasuk kita, disebabkan oleh rasa belum percaya terhadap lawan interaksi dan/atau lingkungan yang menjadi 'tempat hidup baru'. Dinding ini umumnya runtuh seiring berjalannya waktu. Dinding ini adalah lapisan paling luar dari karakter seseorang. Ketika dinding ini hilang, kita bisa melihat sekitar 65% dari karakter seseorang. Pada bagian inilah pertemanan terjalin.
Dinding kedua adalah kenyamanan. Meruntuhkan kenyamanan membutuhkan trik khusus yang sangat spesifik. Tentu saja apa yang berada di dalamnya sangat berharga, sekitar >85% karakter seseorang. Pada dinding ini kita akan menjumpai orang yang cerewet padahal terlihat pendiam, siap pun itu. Pada bagian inilah persahabatan, adik-kakak zone, friendzone, sugar baby-daddy, dan cinta terjalin. Pengetahuan dan algoritma dalam membobol dinding ini menentukan relasi seperti apa yang akan terjalin ke depannya. Karena biar bagaimanapun semua terpicu dari sebuah obrolan bukan?.
Pengaruh fisik
Ada hal menarik yang Saya dapatkan dari obrolan dengan lawan jenis. Saat SMA Saya sempat berpikir bahwa obrolan dengan lawan jenis begitu menarik karena kondisi fisik yang dialami. Biar bagaimana pun fisik lawan jenis akan selalu menarik, khususnya bagi laki-laki.Ada dua komponen fisik yang Saya curigai, pertama adalah wajah yang ditatap untuk menghargai lawan interaksi dan yang kedua adalah suara sebagai medium perantaranya. Paras yang elok dan suara yang lembut menjadi ketertarikan nyata yang tak terhindarkan.
Paras yang menawan selalu memicu pikiran untuk terus berpikir bagaimana untuk memperpanjang obrolan. Alhasil, pada saat kuliah Saya pun mencoba meminimalkan komponen wajah untuk mengetahui seberapa besar komponen suara berdampak pada suatu obrolan.
Hasilnya memang tak terhindarkan, suara yang lembut memang jauh lebih menarik dari suara yang biasa-biasa saja, Saya rasa sampai di sini naluri masih mendominasi. Saya sendiri mengategorikan suara perempuan dalam 3 kategori. Pertama, suara semi cowok untuk suara datar yang kadang tersamarkan hingga dikira suara laki-laki yang datar. Kedua, suara cewek yang umumnya dimiliki oleh mayoritas perempuan, dan yang ketiga adalah suara yang cewek banget untuk suara perempuan yang benar-benar menunjukkan perbedaan yang sangat jelas dengan suara laki-laki.
Tiga kategori tersebut hanyalah kategorisasi versi Saya yang didapatkan dengan tak memandang mereka, obrolan netral, dan mereka pun nampaknya berada pada kondisi normal. Mereka bisa mengubah mode tersebut secara sengaja atau tidak, tapi entahlah, tetap saja terdapat sebuah karakter suara yang sangat khas yang dimiliki tiap orang. Dengan menghilangkan pertimbangan karakter suara, topik obrolan yang di bawa perempuan secara nyata memang selalu tidak sedatar topik yang dibawa laki-laki. Atau, mungkin semua ini subjektif, karena Saya laki-laki makanya bisa memandang suara mereka seperti ini, hmmm.
Suara
Oh iya, tentang karakter suara, memang benar tiap orang punya sebuah substansi suara yang dapat diekstrak menggunakan fast fourier transform. Pada mata kuliah akustika, setiap suara dapat diketahui beragam komponennya, sebut saja analisis frekuensi. Dari analisis tersebut bisa didapatkan sebuah fingerprint yang unik. Komponen fisik tersebut dapat digunakan untuk beragam keperluan.Dalam mata kuliah instrumentasi sistem audio, salah satu penerapannya terletak pada teknologi penyadapan telepon. Penyadapan suara secara sederhana menggunakan analisis ini untuk mencari karakter suara seseorang di semua jalur komunikasi. Tentu saja dahulunya ini adalah salah satu teknologi militer. Dengan teknologi ini, kita bisa memetakan makhluk hidup di hutan, menghitung jumlah hewan, dan mengetahui eksistensi fauna tertentu.
Biar Saya berikan sebuah analogi. Anggaplah suara adalah sebuah air manis. Air manis bisa tercipta dari air yang dilarutkan dengan gula, madu, sakarin, aspartam, ekstrak buah, atau yang lainnya. Untuk menyadap atau menemukan sebuah zat manis, kita bisa mengekstrak air manis menjadi zat manis itu sendiri, misal saja aspartam. Kemudian, pada jalur komunikasi, atau aliran zat manis, anggaplah sekarung zat manis. Untuk menyadap kita hanya perlu menemukan aspartam pada sekarung zat manis. Sampai bagian sini dunia koding mengambil alih.
Sebenarnya sudah keluar topik sih, tapi Saya pikir suara berkaitan erat dengan obrolan langsung, makanya perlu untuk memberikan sebuah pengetahuan yang mungkin berguna. Sedangkan, untuk obrolan tak langsung akan lebih seru jika membahas teknologi enkripsi-dekripsi. Tentunya Saya begitu malas untuk membahas hal tersebut mengingat tulisan ini sudah terlalu panjang.
Saya masih memikirkan bagaimana cara untuk mengakhiri tulisan ini, tidak ada quote yang bagus, jadi akan Saya akhiri dengan paragraf yang memiliki rima.
Obrolan adalah kata benda
Obrolan adalah senjata kuat bak gada
Benda yang memicu waspada
Senjata penghancur yang terpantik dari suatu beda
Obrolan juga merupakan benda pembangun
Sebuah pembangun yang anggun
Dengannya kita dapat menghimpun
Membuat siapa pun jadi tekun
Layaknya kebutuhan, tentu ada batas dalam obrol
Tentu saja perlu ditahan, agar tak menjadi tolol
Seperti kecerobohan, sebuah petaka terpicu dalam banyol
Atau bisa juga ketagihan, menyerbak bak aerosol
Sebuah kebutuhan pastinya dituntut untuk selalu dipenuhi. Kekurangannya bisa memicu sebuah emosi. Penuhnya kebutuhan tak selalu menjamin anestesi, sedangkan menjaganya dalam batas aman adalah sebuah cara untuk menunjukkan sebuah pengendalian diri yang terpenuhi.
Bekasi, 31 Januari 2019
22.06
Didik Setiawan
2 Komentar
Aku sering merasa bahwa obrolan antar cowok-cowok itu hambar dan dingin wkwkwk. Dan terkesan kaku dan justru tidak bisa memperpanjang percakapan lebih jauh lagi
BalasHapusYap, tepat sekali, kenyataannya memang begitu Thi. Makanya karena nggak bisa bertahan pada suatu topik, topiknya jadi bercabang banyak dan kadang bisa tajam bahasannya
Hapus