Ahad, 15 September 2019

[Ahad, 15 September 2019]

Untukku, Didik Setiawan di masa depan.

Hey, entah Aku harus menyebutmu sebagai orang yang "bodoh" atau "luar biasa" untuk 5 semester yang telah berlalu ini. Perkenankanlah diriku untuk memantik sebuah ingatan yang hari ini terjadi, mungkin, beberapa belas menit sebelum akhirnya Aku memutuskan untuk membuat tulisan ini pada pukul 17.13.

Di mimpi, pagi ini.

Saat itu, suasananya biru, seharusnya dingin, tapi karena itu di dalam mimpi, kita tidak merasakannnya. Biru adalah sisa pikiran saat merenungi Titans kemarin malam, saat kita berpikir "ini kenapa DC buat Titans biru gini? udah dark kenapa harus di filter lagi?".

Di sisi kanan gunung berkelok dengan jalan raya yang cukup besar. Lengkap dengan pembatas jalan di sisi kanannya. Di mimpi, kita mengingatnya sebagai "Patagonia", sebuah sisa bacaan kemarin malam juga dan ingatan mengenai rute di Asphalt 8. Padahal, kita meyakini bahwa itu bukan di Patagonia.

Saat itu, kita sendirian. Ada orang lain, tapi nun jauh di sana, mereka terlihat samar dari kejauhan. Dengan laptop dan modem, kita menyelesaikan pengurusan akun Jobstreet, karena itu adalah rencana hari ini setelah malam sebelumnya kita menyelesaikan pengurusan akun Linkedin.

Ada yang aneh di laptop. Ia tertancap modem berwarna putih, padahal belakangan ini kita menggunakan ponsel sebagai sumber internet. Masih di dalam mimpi juga, kita menyadari bahwa itu adalah modem Telkomsel Flash yang sudah rusak dan tidak dipakai lagi. Namun, lampu indikatornya berkedip biru. Saat itu kita lupa, ingatan yang tersisa adalah itu merupakan warna indikator modem Smartfren yang juga sudah tak terpakai.

Mimpi itu sangat singkat. Baru beberapa saat kita berhadapan dengan laptop -sangat singkat seperti di film Inception yang tiba-tiba ada di suatu tempat tanpa suatu pengantar atau peralihan dari mimpi sebelumnya- jalan yang memang sudah terbelah itu bergerak, bergeser. Iya, longsor menuju jurang besar yang di bawahnya terdapat hutan belantara.

Refleks saja, kita menyelamatkan laptop -yang entah bagaimana bisa seimbang dan terjaga kestabilannya- di pembatas jalan. Laptop berhasil diselamatkan dengan melemparnya -tapi entah mengapa kita tidak mendengar suara laptop terbanting.

Mungkin, saat itu, dalam mimpi itu, kita juga panik karena kita akan jatuh ke jurang bersama rekahan jalan yang memang sudah terlihat begitu besarnya di awal mimpi. Iya, takut mati dalam mimpi.

Dalam mimpi itu akhirnya kita menyadari bahwa gelap dan biru pada cuaca mimpi terjadi karena hujan yang telah terjadi. Hal itu terasa ketika kita merasakan jalan yang begitu licin saat berusaha menyelamatkan diri dengan kondisi tanah (baca : jalan) yang sudah miring.

Tau apa yang terjadi? Iya, seperti biasa. Kita menyengajakan diri keluar dari mimpi dengan memejamkan mata. Di pertengahan mimpi kita sudah menyadari bahwa itu dunia mimpi dan bisa 'lucid dream'. Sempat terpikirkan untuk terbang atau 'tangan panjang' sepertyi Luffy, namun karena terlalu panik dan lupa kalau itu hanyalah mimpi, akhirnya kita keluar dari mimpi saat terhempas menuju jurang. Pengalaman mimpi nyaris mati yang entah ke berapa kali terjadi, tapi kali ini, jatung yang berdebar terjadi sampai saat kita terbangun.

Spontan saja, kita memeriksa Nokia 5 yang tergeletak di ujung kanan kasur. Nampaknya, kita dua menit bangun lebih awal dari jadwal alarm. Pada dua menit yang tersisa, kita masih berusaha menenangkan dan menyadarkan diri bahwa tak seharusnya pengalaman mimpi terbawa sampai dunia nyata.

Alarm pun berbunyi . . .

17.34

Baiklah, mari kita lanjutkan.

Ba'da ashar tadi, kita memeriksa ponsel. Ya you know lah, salah satu tindakan nirfaedah. Hanya ada notifikasi dari Facebook berupa pengingat ulang tahun, Google Play Store Update dan Google Drive Upload. Terbesitlah ide untuk melakukan suatu hal nirfaedah lainnya, main Google Assistant.

Ternyata, banyak pengetahuannya yang telah diperbarui, namun masih tetap absurd dengan lelucon garingnya. Tapi kerennnya, kini gombalan Google Assistant lebih manusiawi. Iya, tidak kaku seperti gombalan beberapa bulan yang lalu. Hmm menarik. Sempat terpikirkan untuk dijadikan story, tapi kita urungkan. Sangat tak berguna bukan? haha.

Saat itu, dua jam sebelum kita memerika instagram, CFDS membuat pemberitaan mengenai fitur baru yang akan dirilis di instagram. Fitur bagus yang sebenarnya cukup membawa kekecewaan pribadi, duh.

Lalu, kita melakukannya, melakukan sebuah pencarian meski pun kita tahu akan berakhir sia-sia, karena diblokir tetaplah diblokir haha. Seperti biasa, selalu berakhir ke instagram, berharap ada temannya yang memberi tag pada fotonya. Namun, seperti biasa juga, kita selalu memeriksa akunnya.

Di sana terlihat angka sekitar dua pangkat 10. Aku sempat berpikir sejenak, tunggu, bukannya di instagram hanya berjumlah sekitar 900an? dan mengapa ia menggunakan privasi publik? seingatku, ia menggunakan setelan private.

Akhirnya, kita cek ulang kembali dan didapatkan ketidaksinkronan dan kita dapatkan juga bahwa privasinya telah berubah secara nyata.

"Waw" pikirku, sangat aneh, tidak masuk akal untuk sebuah akun yang berisikan postingan pribadi.

Tapi bukan itu yang mengganggu pikiranku.

Kini, adzan maghrib berkumandang, hmm 17.51.

Oke, mulai saat itu, saat ini, dan untuk seterusnya Aku sangat cemas, khawatir, takut. Sungguh, ini sangat menakutkan, dan, sekejap saja cukup untuk menaikkan detak dan ritme detak jantung saat itu, bahkan sampai sekarang.

Rasa takut yang  didapatkan dari sebuah sinkronasi informasi yang didapatkan 13 juli lalu. Ketika ada dua informasi yang sama dari sumber yang berbeda berada dalam satu sinkronasi, maka langkah paling bijak untuk mendapatkan kesimpulan terbaiknya adalah dengan melakukan verifikasi langsung dari sumber aslinnya.

Hanya saja, kita 'tidak', atau mungkin lebih tepatnya 'belum'. Belum berani, belum kuat untuk melakukan verifikasi ini.

Ya Allah, ini sungguh menakutkan, takut dalam semua definisi yang ada di muka bumi.

Bekasi, 15 sepetermer 2019
17.54

Posting Komentar

0 Komentar