Kamis, 22 Agustus 2019

[foto]
 
Terdapat 3755 wisudawan dan wisudawati pada periode ini. Konon katanya, ini yang terbanyak bagi UGM dan bagi departemen tempat Saya studi. Nampaknya, surat bermaterai 2015 lalu mungkin memberikan sedikit dampak bagi kami, mungkin loh.

Dengan 40%an cumlaude dan IPK rata-rata 3,4an, Saya benar-benar terkesan dengan kampus ini. Gila, pikirku. Masukan dan keluaran yang berkualitas dari institusi pendidikan yang satu ini benar-benar layak menjadi harapan bangsa. Harapan akan baiknya kehidupan yang dibangun oleh kita sebagai generasi penerus.

Sialnya, ada satu gagasan atau mungkin kalimat yang cukup Saya benci saat momen-momen kelulusan ini. Siapa pun penggagasnya, ia mungkin turut menyumbang bobroknya kehidupan kita.

Katanya, "selamat datang di dunia yang sesungguhnya".

Saya bisa saja berdamai dengan ide itu tatkala SMP dan SMA. Untuk sekarang ini, apa dirimu masih bisa menerimanya?.

Kita tidak pernah sampai "di dunia yang sesungguhnya" meski pun saat kerja praktik kita menyadari bahwa betapa minimnya ilmu perkuliahan yang benar-benar berguna di dunia pekerjaan.

Kita tidak pernah sampai "di dunia yang sesungguhnya" meski pun KKN yang kita lewati penuh dengan drama, konflik lahir batin, dan kasus percintaan yang rumit nan kompleks.

Kita tidak pernah sampai "di dunia yang sesungguhnya" meski pun seluruh pertaruhan nilai, perjuangan akademik, dan tangisan mengalir demi terselesaikannya skripsi.

Ya, Kita tidak pernah sampai "di dunia yang sesungguhnya" kawan.

Ada lagi yang cukup menyebalkan. Kata mereka, "kamu belum jadi orang".

Laah, jadi selama ini kita dianggap apa? cuma tanah liat bercampur lumpur hitam yang diberi bentuk? atau segumpal darah yang hidup?.

Apa definisi "orang" yang mereka yakini? mereka yang menghasilkan uang dan menjunjung tinggi jabatan profesional dengan mengabaikan masa kehidupan di 20 tahun pertama?
Apa perjalanan kita membangun relasi interpersonal diabaikan dengan begitu mudahnya?
Apa semua manajemen diri yang melibatkan konflik batin dilupakan?
Apa semua prestasi dan bakti kepada kedua orang tua tidak cukup membuat kita layak disebut sebagai "orang"?

Ada yang salah dengan budaya pemikiran di sini. Saya harap, Kamu pun dapat memahaminya dan merasa bertanggung jawab untuk menyelesaikannya sebagaimana seorang yang cukup dewasa. Setidaknya, memperbaiki cara dan pola berpikir diri adalah tindakan yang paling mudah untuk dilakukan sebagai seorang personal.

Karena, kita adalah agen perubahan

Didik Setiawan

Kamis, 29 Agustus 2019

Berita wisuda UGM

Posting Komentar

0 Komentar