Sebagaimana biasanya, membaca komentar biasanya lebih seru daripada membaca berita utama. Seru tuh, baku hantam lewat tulisan, saling serang, dan merasa merekalah yang benar, lengkap dengan argumen yang logis.
Menariknya, mereka selalu membandingkan tayangan televisi zaman dahulu dan zaman sekarang. Padahal, mereka sepenuhnya sadar bahwa zaman sudah berubah dan mereka jugalah yang mengakibatkan perubahan tersebut.
Ide lama terus dikoar-koarkan, mereka menjunjung tinggi kehebatan generasi Y, generasi 90an yang dengan pedenya bilang sebagai generasi terakhir yang terselamatkan sebelum arus globalisasi mentransformasikan kehidupan secara signifikan.
Generasi 90 adalah generasi yang main di lapangan sampai maghrib, bukan main gadget di kamar. Nonton kartun tiap minggu, nggak manja dengan kerasnya pembelajaran di sekolah, terbiasa dengan pukulan dan sabetan orang tua, serta beragam kelebihan generasi yang terus digaung-gaungkan. Sombong memang, ya itulah generasi old, generasi Y, generasi yang paling hebat, generasi yang paling layak jadi legend.
Mereka seakan-akan kecewa dengan generasi Z yang tidak bisa menikmati kebahagiaan masa kecil yang mereka rasakan di awal milenium kedua, katanya "enak ya zaman Aku kecil dulu, nggak kayak sekarang".
Ketika Net mengalami masalah, mereka bersatu dan kembali lagi mengungkit dan membandingkan kelebihannya. Padahal, mereka berkontribusi besar terhadap perubahan zaman ini, perubahan yang memaksa Net untuk melakukan PHK.
Mereka bilang kalau acara Net bagus, tapi tidak menontonnya secara konsisten sebagaimana mereka kecil dulu. Alasannya dapat dipahami : sibuk kerja, kuliah, tidak sempat, dan sudah tidak tertarik lagi dengan TV. Mereka bilang acaranya bagus, akan tetapi tidak memberikan apresiasi nyata atas perjuangan yang Net lakukan demi memperbaiki kualitas pertelevisian Indonesia.
Secara bersamaan, merekalah yang membuat dunia maya begitu nyaman bagi generasi Z yang sekarang ini seharusnya merasakan keseruan masa kecil yang dialami generasi 90an kala itu. Kitalah yang menciptakan dirty jokes, dark jokes, humor receh, budaya shitpost, nyinyir, satire, dan sarkas yang begitu seru untuk dijadikan hiburan, bukan televisi sebagaimana yang generasi X ajarkan kepada kita dulu.
Ketika adik-adik dan anak-anak kita dari generasi Z dan alfa nyaman dengan dunia maya yang kita (para generasi Y) ciptakan, alangkah lucunya jika kita menyuruh mereka menonton TV yang bahkan kita akui bersama bahwa TV hanya membawa sedikit kebaikan. Akhirnya, secara tidak sadar, kitalah yang membangun iklim untuk melakukan hijrah dari dunia pertelevisian ke dunia maya.
Ya siapa lagi? apa Kamu masih suka menonton televisi? bukankah Kamu lebih tertarik pada GoT? dan bukankah kita secara sadar menyadari bahwa tontonan Indonesia tidak lebih baik dari tontonan luar negeri?. Hal seperti ini loh yang pada akhirnya menggiring kita untuk memiliki selera baru dalam menonton. Yap, dengan uang yang kita miliki, kita terbiasa streaming menonton siaran luar negeri dan abai terhadap siaran dalam negeri.
Iya, para generasi X, orang tua kitalah yang lebih tertarik dengan hiburan ini sebagai bahan nostalgia di masa lalu. Persis sebagaimana kita yang masih suka nostalgia ketika teringat saat bermain di lapangan hingga diteriaki untuk pulang.
Dengan para orang tua sebagai pemirsanya, apa idealisme kita yang menginginkan televisi berisi kartun dan acara bermanfaat lainnya jadi relevan?.
Cobalah tanyakan pada orang tuamu, apa mereka tertarik dengan acara kartun dan dunia pengetahuan di TV?. Periksa tetanggamu yang memiliki kelahiran sebelum 90an, mereka umumnya masih setia dengan TV tapi tidak memiliki selera yang sama dengan kita.
Lantas, jika idealisme kita, anak 90an, yang menginginkan TV dengan acara kartun dan acara bermanfaat lainnya terwujud, siapa yang ingin menontonnya?.
Kita? yakin dengan kesibukan pekerjaan sekarang ini masih sempat nonton TV?.
Orang tua kita? yakin beliau memiliki selera yang sama dengan kita?.
Adik kita? yakin ia lebih memilih TV dibanding dunia gadget yang kita ciptakan bersama dengan begitu nyamannya?.
TV sudah kehilangan pasar bung, idealisme kita mengenai tayangan berkualitas tidak bisa terwujud karena kita jugalah yang menghalangi tercapainya idealisme itu. Sadarlah, mereka butuh pasar karena mereka mencari uang, sama seperti kita semua.
Jika pasarnya sudah hilang, tapi masih nekat konsisten mengikuti idealisme dengan tayangan yang berkualitas, siapa yang memberikan mereka dana? apa iklan mau membayar untuk acara TV yang sudah tidak diminati oleh pemirsanya?.
Akhirnya, PHK menjadi solusi terakhir untuk menjaga idealisme itu. Demi menjaga keinginan kita yang egois, sebuah tayangan TV berkualitas, yang bahkan kita sendiri tidak konsisten menontonnya tapi secara konsisten menyebarkan pemahaman bahwa menonton TV tidak begitu baik.
Didik Setiawan
Ahad, 11 Agustus
10.56
Menariknya, mereka selalu membandingkan tayangan televisi zaman dahulu dan zaman sekarang. Padahal, mereka sepenuhnya sadar bahwa zaman sudah berubah dan mereka jugalah yang mengakibatkan perubahan tersebut.
Ide lama terus dikoar-koarkan, mereka menjunjung tinggi kehebatan generasi Y, generasi 90an yang dengan pedenya bilang sebagai generasi terakhir yang terselamatkan sebelum arus globalisasi mentransformasikan kehidupan secara signifikan.
Generasi 90 adalah generasi yang main di lapangan sampai maghrib, bukan main gadget di kamar. Nonton kartun tiap minggu, nggak manja dengan kerasnya pembelajaran di sekolah, terbiasa dengan pukulan dan sabetan orang tua, serta beragam kelebihan generasi yang terus digaung-gaungkan. Sombong memang, ya itulah generasi old, generasi Y, generasi yang paling hebat, generasi yang paling layak jadi legend.
Mereka seakan-akan kecewa dengan generasi Z yang tidak bisa menikmati kebahagiaan masa kecil yang mereka rasakan di awal milenium kedua, katanya "enak ya zaman Aku kecil dulu, nggak kayak sekarang".
Ketika Net mengalami masalah, mereka bersatu dan kembali lagi mengungkit dan membandingkan kelebihannya. Padahal, mereka berkontribusi besar terhadap perubahan zaman ini, perubahan yang memaksa Net untuk melakukan PHK.
Mereka bilang kalau acara Net bagus, tapi tidak menontonnya secara konsisten sebagaimana mereka kecil dulu. Alasannya dapat dipahami : sibuk kerja, kuliah, tidak sempat, dan sudah tidak tertarik lagi dengan TV. Mereka bilang acaranya bagus, akan tetapi tidak memberikan apresiasi nyata atas perjuangan yang Net lakukan demi memperbaiki kualitas pertelevisian Indonesia.
Secara bersamaan, merekalah yang membuat dunia maya begitu nyaman bagi generasi Z yang sekarang ini seharusnya merasakan keseruan masa kecil yang dialami generasi 90an kala itu. Kitalah yang menciptakan dirty jokes, dark jokes, humor receh, budaya shitpost, nyinyir, satire, dan sarkas yang begitu seru untuk dijadikan hiburan, bukan televisi sebagaimana yang generasi X ajarkan kepada kita dulu.
Ketika adik-adik dan anak-anak kita dari generasi Z dan alfa nyaman dengan dunia maya yang kita (para generasi Y) ciptakan, alangkah lucunya jika kita menyuruh mereka menonton TV yang bahkan kita akui bersama bahwa TV hanya membawa sedikit kebaikan. Akhirnya, secara tidak sadar, kitalah yang membangun iklim untuk melakukan hijrah dari dunia pertelevisian ke dunia maya.
Lalu, siapa penonton TV yang masih setia?.
Ya siapa lagi? apa Kamu masih suka menonton televisi? bukankah Kamu lebih tertarik pada GoT? dan bukankah kita secara sadar menyadari bahwa tontonan Indonesia tidak lebih baik dari tontonan luar negeri?. Hal seperti ini loh yang pada akhirnya menggiring kita untuk memiliki selera baru dalam menonton. Yap, dengan uang yang kita miliki, kita terbiasa streaming menonton siaran luar negeri dan abai terhadap siaran dalam negeri.
Lalu, siapa sebeneranya yang masih tersisa meluangkan waktunya untuk menonton televisi?.
Iya, para generasi X, orang tua kitalah yang lebih tertarik dengan hiburan ini sebagai bahan nostalgia di masa lalu. Persis sebagaimana kita yang masih suka nostalgia ketika teringat saat bermain di lapangan hingga diteriaki untuk pulang.
Dengan para orang tua sebagai pemirsanya, apa idealisme kita yang menginginkan televisi berisi kartun dan acara bermanfaat lainnya jadi relevan?.
Cobalah tanyakan pada orang tuamu, apa mereka tertarik dengan acara kartun dan dunia pengetahuan di TV?. Periksa tetanggamu yang memiliki kelahiran sebelum 90an, mereka umumnya masih setia dengan TV tapi tidak memiliki selera yang sama dengan kita.
Lantas, jika idealisme kita, anak 90an, yang menginginkan TV dengan acara kartun dan acara bermanfaat lainnya terwujud, siapa yang ingin menontonnya?.
Kita? yakin dengan kesibukan pekerjaan sekarang ini masih sempat nonton TV?.
Orang tua kita? yakin beliau memiliki selera yang sama dengan kita?.
Adik kita? yakin ia lebih memilih TV dibanding dunia gadget yang kita ciptakan bersama dengan begitu nyamannya?.
TV sudah kehilangan pasar bung, idealisme kita mengenai tayangan berkualitas tidak bisa terwujud karena kita jugalah yang menghalangi tercapainya idealisme itu. Sadarlah, mereka butuh pasar karena mereka mencari uang, sama seperti kita semua.
Jika pasarnya sudah hilang, tapi masih nekat konsisten mengikuti idealisme dengan tayangan yang berkualitas, siapa yang memberikan mereka dana? apa iklan mau membayar untuk acara TV yang sudah tidak diminati oleh pemirsanya?.
Akhirnya, PHK menjadi solusi terakhir untuk menjaga idealisme itu. Demi menjaga keinginan kita yang egois, sebuah tayangan TV berkualitas, yang bahkan kita sendiri tidak konsisten menontonnya tapi secara konsisten menyebarkan pemahaman bahwa menonton TV tidak begitu baik.
Kita salah dan kita tidak mau mengakui.
Didik Setiawan
Ahad, 11 Agustus
10.56
0 Komentar