Kandasnya Impian Besar Pertama


Selalu terungkit kesedihan yang tak terkira, selalu.

Bermula secara ajaib, entah mengapa beberapa bulan menjelang UN SMP bisa terhubung kembali dengan teman SD yang ternyata sedang bersekolah di beberapa SMP bergengsi di Jakarta Timur.
"Lu kenapa nggak lanjut ke Jakarta dik?" tanya teman SD yang selalu membayangi masa akhir putih biru itu. Dari situ Saya pun bertekad untuk mengejar mereka, teman-teman seperjuangan saat putih merah. Hanya satu atau dua bulan Saya langsung menetapkan mimpi "Gua akan memperjuangkan 71"

Gayung tak bersambut, tidak ada rotan, tidak ada kerajinan yang tercipta.

Akhirnya, benci tidak benci harus berdamai dengan idealisme, akumulasi nilai UN yang jauh dari kata tercapai mengandaskan mimpi besar pertama itu. Sedih iya, depresi mungkin saja. Tapi setidaknya bisa melanjutkan sekolah di Jakarta Timur adalah suatu kebanggaan dan kebahagiaan tersendiri. Toh, misalnya Saya di sana pun mungkin almamater Saya adalah makara atau ganesa, bukan surya kartika.

Dari situlah Saya belajar apa artinya merencanakan kehidupan, kesalahan yang terjadi adalah kesalahan diri dan memaafkan diri jauh lebih sulit dari memaafkan orang lain, karena Kita sendiri yang tau di mana letak kesalahannya secara detail lengkap dengan upaya pencegahan kegagalan mimpi. Sesal tak ada guna, hanya memperburuk asa, percaya.

Liburan kelas 12 Saya habiskan untuk merenung, mengevaluasi segala hal yang menyebabkan "hancurnya kehidupan". Sebelum masuk kembali ke sekolah Saya sudah mantapkan pilihan :

"Gua akan ngejar Fisika Teknik UGM!"


Didik Setiawan

Bekasi, 14 Januari 2018
18.03

Foto diambil pada 11 Januari 2019, 16.11

Posting Komentar

0 Komentar