Sebuah tulisan di internet, entah di mana, menceritakan sebuah narasi kehidupan yang cukup menarik. Saya tidak tahu apakah itu berdasarkan kasus nyata atau tidak, hanya saja seperti kesan pertama membaca, Saya sangat skeptis dengan tulisan tersebut.
Dalam tulisan tersebut, sang penulis mencoba mengejawantahkan bagaimana baiknya sebuah percakapan dijaga, dijaga dalam artian bukan keberlanjutan dan frekuensi percakapan tersebut, melainkan seberapa penuh 'kehadiran diri' dalam meladeni lawan bicara. Percakapan yang berkualitas dapat mempererat relasi dan membahagiakan lawan bicara, kata penulis itu.
Saat itu, beberapa tahun yang lalu, Saya merasa pengetahuan tersebut mungkin akan berguna di kemudian hari, entah apakah akan benar-benar berguna secara teknis atau hanya sebagai pengalaman keilmuan saja.
Hingga akhirnya, lambat laun Saya akhirnya mulai peduli dengaan tiap percakapan yang terlintas di depan mata, tak peduli percakapan Saya pribadi atau pun percakapan orang lain. Dari pengamatan tersebut akhirnya Saya mengerti bahwa kualitas pembicaaraan yang dimaksud adalah proses pelepasan momen emosional oleh lawan bicara. Maksud Saya, kualitas percakapan bisa didapatkan ketika lawan bicara berhasil menyampaikan apa yang sesungguhnya ingin ia sampaikan, semua rasa yang mengganjal, dan pada akhirnya memang simpati dan empati yang ingin ia dulang. Walau pun, pada tulisan antah berantah, Saya menjumpai bahwa sebagian orang memang menyengajakan diri berinteraksi untuk meluapkan emosinya 'dengan cara yang benar', ya, mereka sejatinya ingin didengarkan. Pada tulisan Line yang populer, yang biasanya merupakan opini terkait kasus depresi, para penulis selalu menghimbau agar "mendengar jeritan mereka". Kata mereka, ini adalah cara paling tepat untuk melenyapkan kasus bunuh diri. Tentu saja, Saya sangat setuju dengan hal itu, mengingat beberapa teman nampaknya memberikan tanda depresi jika dikaitkan dengan bagaimana mereka berinteraksi. Entahlah, Saya selalu berharap salah ketika menebak seseorang yang "kok kayak orang depresi?".
Kemudian, saat kuliah Saya pun mencoba menjadi 'pendengar yang baik'. Usaha tidak selalu berhasil, mengingat selalu terjegal faktor koreksi dan konsep efisiensi, tak apa. Intinnya adalah dengarkan dan tanggapi dengan bijak. Sangat menyakitkan memang ketika kita berusaha bijak tapi dianggap menggurui, menggampangkan, menyepelekan, dan sok tahu. Padahal, niat kita sudah baik. Menjadi bijak memang harus diliputi kesabaran.
Bijak tak selalu bermakna berpihak dengan lawan bicara, ini namanya menjadi budak atas ego dia, jika menurutmu dengan diam adalah pilihan yang bijak, dengan menjawab 'tidak tahu' tidak akan memperkeruh suasana, maka lakukanlah. Yaa walau pun Saya sendiri selalu menentang praktik dusta yang mengatasnamakan 'demi kebaikan dia'. Bagi Saya, lebih baik mengatakan "maaf, Saya tidak bisa mengatakannya" dari pada dusta. Hanya masalah keyakinan sih, mungkin saja kita berbeda keyakinan dalam memandang si dusta ini, tak apa.
Kembali ke tulisan di awal. Ketika mulai memahami pesan sang penulis tersebut, secara perlahan cercahan ingatan yang Saya lupakan seolah datang kembali. Konon katanya Rasulullah selalu berusaha untuk menanggapi tiap pembicaraan dengan baik, dengan menghadap langsung, bukan tolehan kepala saja. Tapi ini bukan tulisan tentang agama, jadi kita pakai contoh lain hehe.
Dulu, parah sih, tapi ya gapapa deh, kapan lagi?. Saya pernah iseng mencari tips dan trik cara mendapatkan pacar dengan instan, ada yang sebulan, seminggu, beberapa hari, termasuk cara menikung wkwk. Kalem saja, ilmu itu tidak Saya uji cobakan, akan tetapi yang perlu Kamu ketahui adalah bahwa semua cara yang diajarkan merujuk pada suatu konsep 'pembangunan konsep diri yang baik' alias 'pencitraan' dan semua itu bersumber dari interaksi. Ya iyalah, ujung tombak dari pedekate alias pendekatan kan percakapan, cara dan medianya bisa bebas, tapi itu bukan bahasan di sini sih hehe.
Jeda entah berapa lama, Saya juga pernah mencari suatu ilmu yang merujuk pada konsep 'cara menjadi orang yang menyenangkan'. Tulisan tersebut memiliki rasa yang sama dengan contoh sebelumnya, tapi di sana lebih menekankan pada konsep umpan balik di setiap percakapan. Udah mirip tinjauan pustaka belum nih? wkwkwk.
Duh jadi bingung mau nulis apa lagi. Eh gini deh, entahlah Kamu tertarik atau tidak untuk menelusuri apa yang Saya cari beberapa tahun yang lalu. Di sini, Saya sekadar menyampaikan bahwa menjadi lawan bicara tidak harus menjadi 'lawan' secara harfiah, lawan yang ketika ia berbicara maka kita harus berbicara tak kalah kuat. Tidak, tidak seperti itu. Mengutip perkataan populer "Tuhan menciptkan satu mulut dan dua telinga agar kita lebih banyak mendengarkan satu sama lain".
Ketika temanmu sedang berbicara denganmu, hadirkanlah dirimu padanya sepenuh mungkin. Kita tidak pernah tau bagaimana rasa tertekan yang ia derita jika ia belum menceritakan semua masalahnya dan kita juga tidak tahu bagaimana bahagianya dirinya ketika kita mendengarkan semua keluh kesahnya.
Tanggapilah dengan perlakuan yang baik, singkirkan ponselmu yang sering mengganggu. Serta, jika memungkinkan simpati dan empati yang tepat sangatlah diperlukan. Serta satu hal lagi sih, entah mengapa tiba-tiba teringat.
Di koridor lantai dua, depan ruang bahasa Indonesia, teman SMA Saya pernah berkata "dik, sebenernya gue orangnya grogian kalo ngomong hadep-hadepan gitu, nanti kalo pas gue wawancara kerja gimana ya?". Sesaat Kami sama-sama menoleh dan kembali menghempaskan pandangan kembali ke lapangan. Di lain kesempatan, teman SMP Saya memberikan pernyataan serupa, dengan alasan yang berbeda "Aku pernah ditegur sama dosen gara-gara nggak pernah liat mukanya pas dipanggil", "Ya Aku nggak bisa, dosenku kan laki-laki, masih muda juga, sedangkan Aku perempuan. Kadang perasaan itu tumbuh dari hal-hal seperti ini". Kemudian, pada kesempatan lain Saya mendapatkan pernyataan dari teman SMA yang lain "lu percaya dari mata turun ke hati kan? ya meski pun lu gak suka, kalo keseringan nanti juga bisa jadi suka".
Itu sih yang Saya dapatkan dari pengalaman nyata teman-teman, dan, substansinya sama persis seperti hasil dari penelusuran yang Saya lakukan. Lantas, apa hubungannya dengan tulisan ini?.
Ehmmm, Aku, eh Saya. Saya harus bilang bahwa ini adalah perkara yang sulit. Sulit melakukan percakapan interpersonal tanpa saling berhadapan. Ketika kita mungkin punya banyak alasan untuk menghindari berbicara berhadapan seakan-akan itu menjadi penghalang dalam memenuhi standar kulailtas dari percakapan itu tadi.
Sebenarnya, tidak sepenuhnya benar sih. Berhadapan yang memang menjadi suatu penghalang bisa diatasi dengan posisi interaksi yang lebih tepat. Kalau Saya sendiri memiliki banyak alternatif, misalnya saja posisi saling tegak lurus, diagonal, bersebelahan, dan berada pada tempat yang dipadati objek dinamis.
Satu lagi, Saya harus mengatakan bahwa sebagian laki-laki yang Saya temui, ada segelintir dari mereka yang memanfaatkan percakapann sebagai ajang "cuci mata". Ya, Saya sebagai laki-laki bisa melihat gerak-gerik laki-laki yang 'berbeda' tatkala bercengkrama. Misalnya, pada kualitas sinkronasi di tiap sesi pembicaraan dan kalau mau jeli bisa dilihat dari 'sinar mata'. Kamu dapat memastikannya saat itu juga, apakah sinar mata ketertarikan lawan jenis, atau ketertarikan pembicaraan.
Tapi, terlepas dari semua hal itu, tetap Kamu yang memutuskan untuk memilih, memilah, dan meracik metode percakapan interpersonal yang berkualitas dengan analisis risikonya. Pastikan saja tak melanggar hukum, norma, dan agama.
Sleman, 15 Juni 2019
16.41
Didik Setiawan
0 Komentar