Siddik dan Sasa

“Jadi?” tanyaku lesu.

“Jadi gimana maksudnya?” dia balik bertanya.

“Eh tadi kita ngomong apaan sih?” dengan terpaksa Aku coba untuk tertawa, tapi ternyata kelesuanku mengalahkannya.

“Ya enggak tau, kan Kamu duluan yang ngomong” tersungging senyuman kecil di wajahnya. Ku akui kecantikan parasnya, namun jujur saja, kali ini Aku benar-benar tak bisa tersenyum bahagia.

“Oh emang ya? Aku lupa hehe” kali ini dengan berat rasanya Aku tertawa, mencoba mencairkan suasana yang ikut membeku selaras dengan dinginnya malam, yang walau saat ini tak kami rasakan.
 
Sembilan belas menit sudah kami hanya mematung, tak bersuara, laksana lukisan bisu di Museum Louvre. Tak ada kata atau kalimat yang dapat Aku katakan lagi kepadanya, Aku benar-benar sedih, bukan lantaran tak dapat menemaninya dengan obrolan yang bersahabat, melainkan kenyataan pahit yang harus Aku terima.

Menjadi mahasiswa di fakultas kedokteran tampaknya belum cukup membahagiakan jiwaku ini, batinku yang berdampingan dengan otakku sesungguhnya benar-benar bahagia lantaran hanya tinggal setahun lagi Aku dapat memperoleh gelar keramat itu, namun ternyata hatiku kosong. Ya, selama ini tak ada yang pernah berhasil mengisi hatiku. Menyedihkan memang, apalagi mahasiswa dengan IPK 3.4 ini tak pernah merasakan manisnya cinta. Huh! kehidupanku ternyata amat menyedihkan. 

Namun, apa Kau tau? semua itu berubah ketika sesesok gadis hadir dalam hidupku. Yap, dia yang kini duduk di sebelah kiri ku, menatap ke luar jendela, seolah mencoba menerawang sisi lain pikiranku. Aku menyukainya, tidak, maksudku, Aku mencintainya, tapi bagiku, kini Aku sudah tidak lagi mencintainya, Aku hanya menyayanginya saat ini, hanya itu. 

Sebenarnya, sampai sekarang Aku sendiri pun tak mengerti mengapa Aku dapat tenggelam dalam ombak cintanya, namun ku yakin satu hal, cinta tak perlu memiliki alasan. 

Sudah lebih dari setahun Aku menyimpan perasaan wajar ini, dan baru minggu lalu Aku mengungkapkannya. Sepertinya, Aku memang orang yang benar-benar penakut ya?. Dan respon dia? Positif!. Positif bukan berarti kami menjalin hubungan cinta, patut dipertegas, Aku hanya mengungkapkan, tidak memintanya menjadi kekasihku. 

Satu hal yang pasti, Aku takut persahabatan baik yang telah kami rajut sejak SMA akan hancur lantaran sisi egoisku, jadi Aku hanya mengungkapkan, tak lebih. 

Kini Avanza perakku melesat dengan mudahnya setelah berhasil menyelamatkan diri dari gilanya kemacetan di Pondok Bambu saat malam hari. Benda ini merupakan hasil jerit payahku sejak SMP. Dari kecil Aku telah diajarkan kedua orang tuaku untuk bekerja mandiri dan berpikir kreatif, itulah sebabnya mudah bagiku untuk mendapatkan 5 juta dalam seminggu. Bagi seorang anak SMA yang bahkan nilai akademisnya termasuk yang terbaik dalam satu angkatan, menempati ranking 2 paralel, hal tersebut bukan hal yang buruk bukan?.

Dan akhirnya, lampu merah Pangkalan Jati menghentikan laju kami, berarti sekitar 5 km jarak yang harus ditempuh untuk memastikan keselamatan gadis di sebelahku ini.

“Dik, kok kita malah makin cepet?” dia bertanya.

“Dik, kok kita makin cepet sih?” tanyanya mulai cemas.

“Dik! Siddik! Pelanin, jalanannya licin!” dengan ucapan agak berteriak, Aku mengerti, dia memintaku untuk menurunkan kecepatan kendaraan yang kami tumpangi, Aku benar-benar tuli tadi, jiwaku masih mengawang-awang.

“Oh iya, maaf sa” balasku menyesal.

“Makanya, kalo di jalan tuh fokus, jangan mikirin macem-macem” ucap dia seraya menatapku.

“Iya iya, maaf Sasa” jawabku membalas tatapan cemasnya. Sepertinya dia tau apa yang Aku pikirkan dari tadi. Ya memang seharusnya begitu, sebagai perempuan, bukankah memang dasarnya diberikan kepekaan yang lebih?.

Tadi siang, dia bercerita kepadaku, hal yang lumayan bagiku, menyakitkan tentunya. Toni, melamarnya kemarin, tepat di hari ulang tahunnya. Menurutku adalah hal normal jikalau ku benar-benar sakit hati, terlebih Toni adalah sahabat baikku, dan yang menyakitkannya lagi adalah ku juga mengetahui sejak lama, bahwa Sasa sebenarnya memendam rasa yang sama terhadap Toni, lantas apa yang ku lakukan? Yaa sepertinya manusia normal lainnya, Aku hanya membendung limpahan sakit hati yang tak tau kapan bendungan ini akan hancur lantaran volume yang benar-benar tak tertahankan. 

Mengetahui hal itu, Aku hanya bisa mengingat kalimat yang pernah diucapkan salah satu sahabatku juga, Nirvana namanya, walau dia hanyalah mahasiswi ekonomi, setidaknya dia memberiku sedikit pencerahan

“Jodoh itu nggak kemana kok dik, yang namanya jodoh, nanti juga ketemu lagi” 
begitu ujarnya.

Baiklah, mungkin Aku terlalu berlebihan mencintai Sasa. Tapi satu hal yang pasti, jika dia memang bukan jodohku, maka suatu saat, akan kutemukan pasangan hidupku nanti, ya akan ku jemput kau di sana, semoga kita kan bertemu di Yogyakarta nanti, bersamaan dengan beasiswa S2 yang akan kutempuh beberapa tahun lagi, takkan kubiarkan kau direbut orang lain!.

Tanpa sadar, kini mobilku telah menghentikan lajunya tepat di depan rumah Sasa. Aku masih murung sesungguhnya, itulah mengapa lidahku tak dapat menyampaikan kata-kata.

“Dik makasih ya, hati-hati dijalan, maaf untuk hari ini, dan makasih untuk semuanya”

Diposting di Facebook pada 28 April 2014

Didik Setiawan

***

Sebenarnya, cerita ini rencananya akan dihubungkan dengan cerita Nirvana, namun karena -oke, Aku kasih tau lagi- penulis Nirvana menghapus akun Facebooknya, yaa nggak bisa lanjut deh hehe. 

Terima kasih telah berkunjung

Posting Komentar

0 Komentar