Mengonsumsi Rasa Takut


Ramadhan 1445 H 1/3

Rasa takut dan kekhawatiran menjadi salah satu motivasi terbesar yang menggerakkan umat manusia menuju titik terbaiknya. Kekuatan ini secara tidak sadar melekat dalam tiap pengambilan keputusan. Namun, sebagai template kehidupan, konsumsi berlebih merupakan tindakan terlarang.

Motivasi kuat umumnya tercipta dari dua hal, pertama kebaikan, kedua keburukan. Menariknya, rasa takut bisa berada dalam dua sisi tersebut, tergantung bagaimana kronologis cerita kehidupan yang dialami insan yang bersangkutan. Dalam kasus normal manusia, takut mendapatkan citra buruk adalah alasan manusia menunjukkan performa terbaiknya. Sedangkan, takut kalah dalam persaingan membuat orang memilih langkah curang.

Dalam konteks agama, si paling humanis sering mencemooh para pengikut agama dengan menganggap kebaikan para religius berlandaskan rasa takut neraka ataupun imbal balik surga. Mereka menolak kebaikan yang tidak berdasar dari jiwa manusia yang bebas. Padahal, jiwa manusia yang murni sejatinya berasal dari kondisi kosong yang terikat perjanjian dengan Sang Pencipta.

Sebagai ancaman nyata, neraka merupakan cekokan rasa takut yang dipaksa Tuhan kepada para kaum yang mengimani-Nya. Ia merupakan rasa takut yang memaksa kaum religius untuk berbuat baik. Sementara itu, kaum religius lain sibuk berbuat baik demi ganjaran kesenangan tanpa batas.

Menariknya, kronologis ancaman siksaan tidak langsung turun begitu saja. Ancaman diberikan ketika "membaca" sudah dipahamkan ke manusia. Sebagai Sang Pencipta, Ia tahu betul bahwa rasa takut akan kehilangan kenyamanan hidup menyuburkan bibit penolakan dan pemberontakan akan ajaran yang benar. Begitulah memberdayakan rasa takut yang benar.

Rasa takut adalah penggerak dan pengarah kehidupan manusia. Tuhan menitipkan kemampuan ini untuk menjadikan diri sebagai sosok terbaik dalam hantaman kenyataan. Lantas, apakah dirimu sudah mengonsumsinya dengan dosis yang tepat?.


Didik Setiawan

Senin, 4 Maret 2024
09.33



Posting Komentar

0 Komentar