Kebaikan Bersyarat



Suatu saat Saya melihat postingan Instagram. Sejenak saya teringat pertanyaan lama yang mengendap; apa itu kebaikan yang tulus?.

Sampai detik ini Saya sendiri pun tak tahu definisi kebaikan yang tulus itu apa. Pengetahuan Saya hanya menjangkau definisi dari kebaikan yang ikhlas.

Terdapat dua definisi ikhlas yang Saya pegang. Yang pertama adalah definisi agama. Agama Saya mendefinisikan kebaikan yang ikhlas sebagai kebaikan yang hanya berharap pahala dari Allah. Ini legal dalam agama dan dibenarkan seperti yang disebutkan pada Rumaysho [1]. Saya memegang prinsip ini. Lumayanlah cicilan untuk kaveling surga.

Yang kedua adalah definisi kebaikan yang sangat idealis. Saya pribadi lebih suka menyebutnya sebagai definisi egois nan selfish. Katanya, kebaikan yang ikhlas itu adalah kebaikan yang tak berharap apa pun. Pure kindness, tidak berharap dinilai oleh Tuhan juga.

Saya menyebutnya egois karena mereka ini adalah golongan yang paling gencar menanamkan definisi keikhlasan tanpa campur niatan agama di dalamnya. Mereka berdalih, manusia sejatinya bisa ikhlas bahkan tanpa ada niat sedikit pun melibatkan Tuhan di dalamnya. Hanya sebagian kecil orang yang punya nilai ini dalam dirinya dan menjalankan ikhlas menurut versinya.

Jadi, dalam postingan tersebut sudah jelas bahwa sebagian orang berprinsip melakukan kebaikan itu membutuhkan syarat. Mereka ini adalah manusia normal yang berprinsip “lu hormatin gua, gua hormatin lu”. Mereka inilah manusia paling manusiawi karena meminta pelayanan sebelum melayani. Act of service nya mungkin over haha. Tak apa, mereka hanya bertindak sangat realistis dalam kehidupan yang seru ini, tidak seperti si super idealis yang tidak berharap apa pun.

Tapi sialnya, sebagian dari si paling manusiawi ini juga bertindak sebaliknya. Kita kasar dia pun kasar, kita tidak baik, dia pun tidak baik, seperti yang ada di video. Mungkin peribahasanya air tuba dibalas dengan air comberan. Secara teknis ini sangat manusiawi dan dapat dimaklumi.

Saya jadi teringat cerita teman. Katanya, di daerahnya dalam sebuah acara pernikahan, para donatur akan diingat untuk dibalas kebaikannya ketika keluarganya menikah. Si donatur akan menagih ketika mempersiapkan hari H pernikahan mereka.

Begini, Kamu menyumbang 2980 euro untuk pernikahan Saya. Ketika Kamu mau menikah, Kamu akan menagih Saya -yang mungkin besarnya akan sama- dengan alasan sudah membantu melancarkan pernikahan Saya.

Saya pribadi baru tahu saat itu dan merasa bahwa sebagian kebaikan lebih mirip seperti investasi karma kebaikan, eh mungkin, tempat penyimpanan kebaikan sementara -deposito?. Menariknya, konsep kebaikan seperti ini memang menjadi rutinitas di keseharian kita, malah sudah menjadi bagian dari kehidupan.

Saat berkunjung, kita dibebankan dengan keharusan membawa oleh-oleh. Kalau kata orang tua Saya “kalo mau main ke tempat orang harus bawa pegangan, jangan tangan kosong, nggak enak”. Ini adalah sebuah kebaikan yang secara alamiah menjadi tuntutan bagi si tuan rumah. Si tuan rumah akan diharapkan kebaikan (baca: bawa oleh-oleh kalau main ke rumah si tamu) karena sudah diberikan kebaikan yang materialistis itu tadi. Kalau mereka tidak membalas kebaikan, maka keburukan yang akan datang, minimal jadi bahan gibah.

Lucu ya, baik itu materialistis, baik itu membutuhkan uang. Semakin banyak uang, semakin banyak oleh-oleh, maka citra orang itu semakin baik. Semakin sedikit atau murahan oleh-olehnya, maka citra orang tersebut buruk, bahkan dikatakan sebagai orang yang tidak tahu diri sambil mengungkit kebaikan yang pernah diberikan pada yang bersangkutan. Inilah yang mengakibatkan sebagian orang malas silaturahim ke tempat lain; butuh modal = butuh uang. Berbuat baik saja butuh uang ckckck. Yang penting niat baiknya? Cih! Kita hidup bermasyarakat dengan standar mutlak seperti ini bung.

Kesimpulan dari cerita tadi mungkin seperti ini: orang baik adalah orang yang membalas kebaikan setelah diberikan kebaikan atau orang yang memulai kebaikan dan berharap kebaikannya kembali tanpa mengungkapkannya secara tersurat. Karena kalau tersurat menuntut kebaikannya kembali, pasti dicemooh sebagai orang yang tidak ikhlas, persis komentar yang ada di postingan Instagram itu.

Kamu baik kalau membalas kebaikanku. Jika kamu tidak membalas kebaikanku, maka minimal aku akan menjadikanmu bahan gibahku.

Di sini Saya tidak menghakimi benar atau salah, Saya hanya mencoba menyampaikan sisi humanis manusia yang ternyata hal-hal itulah yang membuat kehidupan kita menarik, kompleks, dan penuh drama.

Makanya, agama ada sebagai tuntunan yang membawa pencerahan dalam dinamika kehidupan manusia. Bertindak baiklah demi pahala dari Tuhan, bukan demi citra atau balasan kebaikan manusia.

Bebas sih. Kalau mau fokus dengan konsep super idealis yang melakukan kebaikan tanpa berharap pahala juga tak apa, itu kan urusanmu dengan Tuhan.

Saya sih selagi bisa mengemis ke Tuhan, kenapa Tidak? itu kan salah satu pembuktian kalau Saya menghamba kepada-Nya bukan? .

Eh kecuali kalau Kamu tipe manusia sombong yang enggan merendah di hadapan Tuhan hehe.



Didik Setiawan

 

Karawang, 4 Juli 2022
22.40

[1] Tuasikal, Muhammad Abduh. Apakah Ikhlas Berarti Tidak Boleh Mengharap Pahala dan Surga. 2010. Diakses dari https://rumaysho.com/780-apakah-ikhlas-berarti-tidak-boleh-mengharap-pahala-dan-surga.html, 4 Juli 2022.

Posting Komentar

0 Komentar