Assalamu'alaikum warahmatullah wabarakatuh
Halo para pendatang antah berantah. Selamat datang di blog pribadi Saya. Sekadar perkenalan singkat, Saya anak teknik yang suka nulis aneh-aneh, bahasanya pun aneh-aneh. Jadi, mungkin isi tulisan ini tidak seperti apa yang kalian harapkan, apalagi sama dengan blog lainnya.
Blog ini, termasuk tulisan ini berisikan cerita dan tulisan kehidupan. Ada pesan yang tersirat dan banyak pula yang tersurat. Untukmu yang baru pertama kali membaca tulisanku, Aku anjurkan membacanya lompat-lompat saja karena akan ada terlalu banyak cerita nggak relevan untukmu hehe. Lanjut~
Rabu, 14 Agustus 2019.
Pada akhirnya, satu lagi mimpi kecil terwujud. Ya, bertemu langsung dengan psikolog. Tentunya tidak bertemu begitu saja.
Sudah sekitar 2 minggu Aku menunggu kesempatan ini. Sebenarnya, hampir 2 bulan malah karena jadwal pertama gagal Aku hadiri demi memberi kritikan pada teman yang ingin maju pra pendadaran. Haha, ingin sombong rasanya sesekali.
Saat itu, secara tidak sengaja Aku berjumpa dengan teman kelas yang seirama dengan ku dalam berpikir dan berlogika di ranah sosial. Jelas saja pada akhirnya keinginan diri untuk menyembunyikan niatan ke psikolog pudar begitu saja.
Dengan pura-pura polos Aku bertanya padanya yang dengan sukarela mengantarku hingga depan GMC.
"ke psikolog biasanya ditanya apa ya?"
"Biasanya yang paling pertama sih lu bakalan ditanya kenapa dateng ke mereka"
"Lah? seriusan? gua nggak ada alasan lagi"
"Lu gimana ke psikolog nggak ada alasan"
"Yaa emang niat awalnya mau main aja, mau tau apa aja masalah anak UGM, survei gitu"
Niat awalku ke sana memang untuk mengetahui bagaimana sih rasa berbicara dengan seorang psikolog profesional? bagaimana permasalahan mental (?) di UGM dan membuktikan apakah tulisan psikologi populer yang sering Aku baca benar adanya. Benar dalam artian bagaimana seorang psikolog harus bertindak. Alhamdulillah sih, semuanya terjawab dan inilah yang akan Aku bagikan kepadamu.
Saat itu sekitar jam 10an, Aku memang sengaja mengambil jadwal pagi demi produktivitas diri. Saat sampai di GMC langsung presensi, kemudian diarahkan ke ruang laktasi. Aku agak terkejut juga sih, ternyata ruang laktasi disalahgunakan haha. Lagian bingung juga mau ditempatkan di mana jika bukan di ruang tersebut, ruang pemeriksaan kan selalu ada yang periksa.
Aku agak kecewa ketika berjumpa dengan mbaknya karena ia menggunakan masker, jadinya tidak tau seberapa cantik dirinya *plaak. Ternyata mbaknya adalah mbak yang Aku lihat di ruang tunggu saat Aku baru datang di GMC. Memang, saat Aku datang dikatakan bahwa mbak psikolog belum datang. Maklum saja, konon katanya banyak pasien yang tidak hadir di waktu yang telah ditentukan, jadinya mbak psikolog agak santai deh.
Tak rugi kok, toh Saya ke sana murni ingin kepo, bukan menyelesaikan permasalahan. Bukan karena tidak memiliki permasalahan, tetapi -lagi-lagi dengan sombong Aku yakin bahwa- masalahku adalah masalah standar yang solusinya sebenarnya sudah Aku pecahkan dan aku sendiri tidak merasakan bahwa itu adalah masalah yang berarti. Bahkan, dengan berani Aku mengklaim bahwa sedang tidak memiliki masalah psikologis yang berarti. Justru itulah yang membuatku bingung, lalu, apa yang akan Aku sampaikan ke mbaknya?.
Ia mengenakan rok panjang, jilbab terjulur, dan pakaian rapi tertutup. Terlihat ia termasuk perempuan yang tinggi. Saat ia berbicara untuk pertama kalinya Aku langsung bisa menebak ia berusia sekitar lebih dari 3 tahun dari usiaku. Terdengar dari suara perempuan yang mulai menjadi suara keibuan. Iya, Aku mengamatinya sedetail itu. Bukan arena Aku tertarik padanya, terkadang Aku memang bisa mengingat dan menganalisis begitu ekstremnnya.
Percakapan pun di mulai. Tentunya tidak ada kontak fisik yang terjadi, tak ada salaman dan terdapat jarak yang berarti, sekitar 1 m. Aku sadar dan ingat diri kok. Ia memenuhi standar fisik perempuan yang Aku miliki, dan, Aku rasa memang tidak baik untuk saling bertatapan. Jadi, selama percakapan Aku menyengajakan diri untuk seminimal mungkin menatapnya langsung, lengkap dengan posisi duduk yang tidak berhadapan langsung. Yaa sebenarnya Aku hanya berusaha menghormati dirinya sih.
Ia menanyakan hal-hal sederhana di bagian awal. Persis yang dikatakan temanku tadi, ia bertanya "apa yang membawamu ke sini hingga akhirnya memutuskan untuk ketemu Saya?". Lupa persisnya, tapi kira-kira begitu.
Jawab jujur dong pastinya, Aku bilang tuh mau nanya-nanya aja, masalah anak UGM apa aja? biasanya mereka bawa keluhan apa aja dan alasan sesungguhnya yang sebenarnya nggak pas untuk dijadikan jawaban (mau survei).
Ia hanya menjawab singkat. Katanya, masalah anak UGM bermacam-macam, heterogen. Sangat tidak menjawab. Tidak menjawab karena Aku punya standar tinggi, Aku punya ekspektasi tinggi terhadap jawabannya. Iya, Aku mengharapkan momen itu seperti wawancara yang Aku lakukan ke dia. Tapi ini salah sih sebenarnya. Ia menjawab sebagaimana seorang psikolog yang menaati kode etik.
Pada akhirnya kondisi tersebut buntu. Mau tidak mau Aku pun harus membawa masalah pribadi, masalah standar, masalah cinta-cintaan yang bahkan sebenarnya tidak ingin melibatkan orang lain. Sombong sih alasannya, karena Aku bisa menebak apa jawaban mereka dan akan memberikan respon seperti apa. Aku bisa percaya diri seperti ini setelah mendengar cerita temanku yang sudah ke psikolog GMC dan ia mendapatkan saran yang bahkan sangat biasa, maksudku, secara nalar itu bisa dijawab. Yaa walaupun tak bisa dipungkiri bahwa jawaban dari psikolog tentunya lebih meyakinkan karena mereka mempelajari persoalan kejiwaan dalam studinya.
Aku cukup berhati-hati dalam menceritakan kisah cinta yang sedang Aku alami. Biar bagaimana pun itu adalah rahasia terbesarku yang bahkan si perempuan belum Aku berikan klarifikasi (saat itu). Tak rela rasanya ada perempuan lain yang tau lebih dulu dari pada perempuan yang Aku cintai.
Kamis, 3 Oktober 2019
17.54
Aku membawa kasus OLD, Obsessive Love Disorder. Saat itu -hingga sekarang-, Aku mengkhawatirkan apakah diriku mengalami OLD akibat jatuh cinta. Setelah menceritakan apa yang Aku alami, Aku pun bertanya "Apa batasan 'normal' dari ketidaknormalan yang Aku alami (OLD)?".
Saat itu Aku menduga bahwa OLD yang Aku alami berada dalam tahap ringan, bukan sesuatu yang perlu dikhawatirkan. Selaras dengan dugaanku, mbaknya mengatakan bahwa yang Aku alami adalah suatu hal yang normal dan tidak mengapa, tidak perlu dikhawatirkan.
Mbaknya mempertegas, sesuatu yang perlu dikhawatirkan dalam psikologi adalah keberadaan gangguan yang nyata akibat kondisi psikologis dalam diri. Kemudian, Aku kembali bertanya "gangguan? gangguan yang seperti apa?". Ia menjawab yang kira-kira jawabannya "ketika tidak ada gangguan dalam keseharian, tidak ada aktivitas yang terganggu, baik dalam diri, kebiasaan, dan lingkungan sekitar, maka semua hal itu adalah normal". Sesuatu yang Saya pahami dari mbaknya yakni gejala atau kondisi psikologis yang mengubah sesuatu secara nyata disebut gangguan. Ketika kita berubah karena kondisi psikologis, di situlah terdapat suatu gangguan. Jika bersifat positif maka (mungkin) perlu disyukuri, sebaliknya, ketika berupa perubahan negatif maka perlu diwaspadai dan sangat perlu diperbaiki.
Biar Aku ceritakan sedikit lebih detail mengenai 'vonis OLD' diri sendiri. Saya mengalami sebuah obsesi cinta untuk memilikinya secara ambisius. Saya terus berpikir dan mengupayakan cara untuk mendapatkannya 'dengan cara yang benar'. Benar di sini adalah tidak melanggar syariat, karena Islam melarang pacaran kan. Nah, ini yang Saya khawatirkan. Saya khawatir jika apa yang Saya lakukan (terus mencari dan memperjuangkan cara yang 'halal' untuk mendapatkannya) adalah sebuah gangguan psikologis. Saya tidak mengalami gangguan dalam aktivitas, di sisi lain bahkan jadi makin bersemangat dan bergairah dalam menyelesaikan persoalan hidup. Mbaknya mengonfirmasi deh, apa yang Saya alami masih tergolong normal. Begitu gaes hehe.
Itu cerita utamanya, ada cerita lain yang ingin Aku bagikan nih. Mbaknya menekankan, apa yang terjadi pada Saya (baca : jatuh cinta) adalah hal yang normal dan wajar. Itu adalah fakta yang harus diterima, sederhananya, harus ada penerimaan dalam diri bahwa apa yang sedang terjadi adalah suatu hal yang normal dan tidak membawa sesuatu yang buruk. Saya juga pernah mendengar pesan semacam ini sebelumnya ketika teman Saya yang depresi disadarkan dengan "depresi adalah hal yang normal". Normal di sini bukan untuk 'melegalkan' apa yang sedang terjadi, melainkan untuk menenangkan kondisi kejiwaan seseorang, mengurangi rasa khawatir dalam diri, begitu.
Dirinya juga berujar bahwa ia hanya bisa menyampaikan saran, karena biar bagaimana pun tugas psikolog adalah memberikan saran terbaik demi perbaikan kejiwaan seseorang. Lucunya, mbaknya juga bilang "salah satu orang yang paling keras kepala dan sulit dinasihati adalah orang yang sedang jatuh cinta". Aku agak ketawa sih, dia paham lah dalam percakapan kami Aku memang jadi agak keras kepala saat menjelaskan ambisi dan perempuan yang Aku cintai.
Selain itu, mungkin agak khawatir ya, atau memang begitu standar pelayanan konsultasi menghadapi orang yang sedang jatuh cinta. Mbaknya juga mengatakan tuh "hiduplah untuk diri sendiri". Ini sebenarnya masuk ke dalam dugaan sih. Aku sudah menduga ia akan mengatakan ini karena dari cerita temanku yang sudah pernah ke psikolog, ia mendapatkan pesan yang sangat umum ini, padahal kasusnya beda.
Kenapa bisa?
Sederhana. Kalimat itu adalah kalimat umum yang berlaku di mana pun dan kapan pun.
Ketika kita hidup sebagai budak cinta, seakan-akan hidup kita cuma karena cinta.
Ketika kita depresi, seakan-akan hidup kita dipengaruhi orang dan lingkungan sekitar.
Ketika kita broken home, seakan-akan keluarga adalah satu-satunya kehidupan kita.
See?
Ungkap mbaknya yang bagi Saya cukup menyebalkan -karena Saya keras kepala haha. Saya sudah mendengar ungkapan itu sejak SMA dan yang mbaknya maksudkan adalah kasus percintaan remaja. Oh jelas dong, Saya nggak terima kalau kasus percintaan Saya adalah percintaan remaja. Saya sudah melewati masa itu termasuk kisah percintaannya. Hingga akhirnya Saya sebutkan bahwa sudah 2 tahun Saya punya perasaan cinta tersebut, lalu mbaknya kaget haha. Katanya, 2 tahun itu waktu yang cukup lama. Saya langsung mikir sih, eh, tepatnya teringat. Teman Saya saja bisa bertahan sampai 6 tahun, masa 2 tahun saja cukup membuat orang lain terkejut?.
Saya rasa cukup sih cerita pengalaman ke psikolognya. Untuk Kamu yang memang penasaran bagaimana rasanya berdialog, eh, berkonsultasi, kira-kira seperti itu rasanya. Ini versi Didik Setiawan sih, versi yang bakalan beda dengan versi lainnya *sombong ceritanya*.
Selanjutnya, Saya akan cerita hal yang tidak relevan, namun terinspirasi dari momen konsultasi tersebut. Jika Kamu masih tertarik menyimak silakan lanjutkan scrolling.
Konsultasi tersebut dilakukan di ruang laktasi berduaan saja dalam keadaan hening. Sunyi senyap yang diiringi detak jam dinding, lengkap dengan suara langkah kaki yang terkadang melintas dan hiruk pikuk GMC yang kadang terdengar samar-samar.
Aku merasa sedikit lega setelah konsultasi dengan alasan yang sangat jelas. Sebenarnya yang paling terasa adalah rasa kecewa sih, kecewa karena pada akhirnya ada perempuan lain yang mengetahui rahasia kasus percintaanku agak detail selain si dia. Rasa lega ini masih kalah dengan rasa kecewa. Njuk ku kudu piye?.
Rasa lega yang tercipta disebabkan Aku dapat mengeluarkan semua unek-unek yang terpendam -walaupun jaaauuuhh lebih lega pas Aku sampaikan perasaanku ke 'dia'. Di sini, memang mbaknya berperan sebagai pemicu, pemantik, agar kita terus berbicara, menyampaikan semuanya, bahkan sampai kelelahan. Kemudian, mbaknya menanggapi dengan berpihak pada kita seraya mengoreksi apa yang salah dalam persepsi kita. Ya, itu tugas psikolog memang. Karena mbaknya adalah psikolog, jawaban yang disampaikan pun sangat tersturktur, lugas, dan jelas. Wajar sih, menjunjung tinggi nilai profesionalitas.
Ketika Aku merasa lega, merasa dihargai, merasa ada yang membantuku dalam hidup, seketika Aku paham, saat itu juga Aku paham apa itu perhatian dari lawan jenis, bagaimana rasanya diperhatikan, dan mengapa banyak orang yang berpacaran.
Selama SMA Aku terus menyelidiki mengapa orang-orang berpacaran dan jawaban mereka sangat tidak masuk akal bagiku. Umumnya, temanku pacaran karena cinta saja. Sebenarnya masuk akal, tapi mungkin karena minim pengalaman jadinya Saya bilang tidak masuk akal haha.
Ternyata, maksud dari cinta yang teman Saya maksud adalah tidak hanya perasaannya, tetapi juga dampak hubungan akibat cinta itu sendiri. Mereka yang jatuh cinta akan saling memberikan perhatian penuh, persis seperti seorang psikolog yang memberikan pelayanan penuh.
Akhirnya Aku benar-benar paham mengapa orang-orang menginginkan berpacaran. Mereka menginginkan sebuah perhatian dari seseorang yang dapat mengerti mereka. Ketika keluarga memberikan perhatian sebatas hubungan darah, maka pacar adalah orang yang dapat memberikan perhatian secara tulus berlandaskan cinta. Seorang pacar selalu bersedia dan tersedia untuk memperbaiki kondisi psikologis pacarnya, begitu idealnya.
Sial memang, Saya baru menyadari dan memahami, ternyata begitu dalam alasan mengapa orang berpacaran. Yaudahlah, karena pacaran adalah hal terlarang, jadi tidak bisa dilakukan haha.
Sebagai penutup, mungkin tulisan ini akan dikunjungi orang asing (baca : bukan teman dunia nyata), jadi jika ada yang punya pengalaman bisa banget ditulis di kolom komentar, tinggalkan jejak gitu deh. Tapi itu hanya sebuah anjuran yang tidak perlu dihiraukan sih hehe.
Selamat berkonsultasi ke psikolog gaes, semoga masalahmu segera terselesaikan dengan baik ya.
Wassalamu'alaikum warahmatullah wabarakatuh
Ahad, 20 Oktober 2019
17.38
Didik Setiawan
Halo para pendatang antah berantah. Selamat datang di blog pribadi Saya. Sekadar perkenalan singkat, Saya anak teknik yang suka nulis aneh-aneh, bahasanya pun aneh-aneh. Jadi, mungkin isi tulisan ini tidak seperti apa yang kalian harapkan, apalagi sama dengan blog lainnya.
Blog ini, termasuk tulisan ini berisikan cerita dan tulisan kehidupan. Ada pesan yang tersirat dan banyak pula yang tersurat. Untukmu yang baru pertama kali membaca tulisanku, Aku anjurkan membacanya lompat-lompat saja karena akan ada terlalu banyak cerita nggak relevan untukmu hehe. Lanjut~
Rabu, 14 Agustus 2019.
Pada akhirnya, satu lagi mimpi kecil terwujud. Ya, bertemu langsung dengan psikolog. Tentunya tidak bertemu begitu saja.
Sudah sekitar 2 minggu Aku menunggu kesempatan ini. Sebenarnya, hampir 2 bulan malah karena jadwal pertama gagal Aku hadiri demi memberi kritikan pada teman yang ingin maju pra pendadaran. Haha, ingin sombong rasanya sesekali.
Saat itu, secara tidak sengaja Aku berjumpa dengan teman kelas yang seirama dengan ku dalam berpikir dan berlogika di ranah sosial. Jelas saja pada akhirnya keinginan diri untuk menyembunyikan niatan ke psikolog pudar begitu saja.
Dengan pura-pura polos Aku bertanya padanya yang dengan sukarela mengantarku hingga depan GMC.
"ke psikolog biasanya ditanya apa ya?"
"Biasanya yang paling pertama sih lu bakalan ditanya kenapa dateng ke mereka"
"Lah? seriusan? gua nggak ada alasan lagi"
"Lu gimana ke psikolog nggak ada alasan"
"Yaa emang niat awalnya mau main aja, mau tau apa aja masalah anak UGM, survei gitu"
Niat awalku ke sana memang untuk mengetahui bagaimana sih rasa berbicara dengan seorang psikolog profesional? bagaimana permasalahan mental (?) di UGM dan membuktikan apakah tulisan psikologi populer yang sering Aku baca benar adanya. Benar dalam artian bagaimana seorang psikolog harus bertindak. Alhamdulillah sih, semuanya terjawab dan inilah yang akan Aku bagikan kepadamu.
Saat itu sekitar jam 10an, Aku memang sengaja mengambil jadwal pagi demi produktivitas diri. Saat sampai di GMC langsung presensi, kemudian diarahkan ke ruang laktasi. Aku agak terkejut juga sih, ternyata ruang laktasi disalahgunakan haha. Lagian bingung juga mau ditempatkan di mana jika bukan di ruang tersebut, ruang pemeriksaan kan selalu ada yang periksa.
Aku agak kecewa ketika berjumpa dengan mbaknya karena ia menggunakan masker, jadinya tidak tau seberapa cantik dirinya *plaak. Ternyata mbaknya adalah mbak yang Aku lihat di ruang tunggu saat Aku baru datang di GMC. Memang, saat Aku datang dikatakan bahwa mbak psikolog belum datang. Maklum saja, konon katanya banyak pasien yang tidak hadir di waktu yang telah ditentukan, jadinya mbak psikolog agak santai deh.
Tak rugi kok, toh Saya ke sana murni ingin kepo, bukan menyelesaikan permasalahan. Bukan karena tidak memiliki permasalahan, tetapi -lagi-lagi dengan sombong Aku yakin bahwa- masalahku adalah masalah standar yang solusinya sebenarnya sudah Aku pecahkan dan aku sendiri tidak merasakan bahwa itu adalah masalah yang berarti. Bahkan, dengan berani Aku mengklaim bahwa sedang tidak memiliki masalah psikologis yang berarti. Justru itulah yang membuatku bingung, lalu, apa yang akan Aku sampaikan ke mbaknya?.
Ia mengenakan rok panjang, jilbab terjulur, dan pakaian rapi tertutup. Terlihat ia termasuk perempuan yang tinggi. Saat ia berbicara untuk pertama kalinya Aku langsung bisa menebak ia berusia sekitar lebih dari 3 tahun dari usiaku. Terdengar dari suara perempuan yang mulai menjadi suara keibuan. Iya, Aku mengamatinya sedetail itu. Bukan arena Aku tertarik padanya, terkadang Aku memang bisa mengingat dan menganalisis begitu ekstremnnya.
Percakapan pun di mulai. Tentunya tidak ada kontak fisik yang terjadi, tak ada salaman dan terdapat jarak yang berarti, sekitar 1 m. Aku sadar dan ingat diri kok. Ia memenuhi standar fisik perempuan yang Aku miliki, dan, Aku rasa memang tidak baik untuk saling bertatapan. Jadi, selama percakapan Aku menyengajakan diri untuk seminimal mungkin menatapnya langsung, lengkap dengan posisi duduk yang tidak berhadapan langsung. Yaa sebenarnya Aku hanya berusaha menghormati dirinya sih.
Ia menanyakan hal-hal sederhana di bagian awal. Persis yang dikatakan temanku tadi, ia bertanya "apa yang membawamu ke sini hingga akhirnya memutuskan untuk ketemu Saya?". Lupa persisnya, tapi kira-kira begitu.
Jawab jujur dong pastinya, Aku bilang tuh mau nanya-nanya aja, masalah anak UGM apa aja? biasanya mereka bawa keluhan apa aja dan alasan sesungguhnya yang sebenarnya nggak pas untuk dijadikan jawaban (mau survei).
Ia hanya menjawab singkat. Katanya, masalah anak UGM bermacam-macam, heterogen. Sangat tidak menjawab. Tidak menjawab karena Aku punya standar tinggi, Aku punya ekspektasi tinggi terhadap jawabannya. Iya, Aku mengharapkan momen itu seperti wawancara yang Aku lakukan ke dia. Tapi ini salah sih sebenarnya. Ia menjawab sebagaimana seorang psikolog yang menaati kode etik.
Pada akhirnya kondisi tersebut buntu. Mau tidak mau Aku pun harus membawa masalah pribadi, masalah standar, masalah cinta-cintaan yang bahkan sebenarnya tidak ingin melibatkan orang lain. Sombong sih alasannya, karena Aku bisa menebak apa jawaban mereka dan akan memberikan respon seperti apa. Aku bisa percaya diri seperti ini setelah mendengar cerita temanku yang sudah ke psikolog GMC dan ia mendapatkan saran yang bahkan sangat biasa, maksudku, secara nalar itu bisa dijawab. Yaa walaupun tak bisa dipungkiri bahwa jawaban dari psikolog tentunya lebih meyakinkan karena mereka mempelajari persoalan kejiwaan dalam studinya.
Aku cukup berhati-hati dalam menceritakan kisah cinta yang sedang Aku alami. Biar bagaimana pun itu adalah rahasia terbesarku yang bahkan si perempuan belum Aku berikan klarifikasi (saat itu). Tak rela rasanya ada perempuan lain yang tau lebih dulu dari pada perempuan yang Aku cintai.
Kamis, 3 Oktober 2019
17.54
Aku membawa kasus OLD, Obsessive Love Disorder. Saat itu -hingga sekarang-, Aku mengkhawatirkan apakah diriku mengalami OLD akibat jatuh cinta. Setelah menceritakan apa yang Aku alami, Aku pun bertanya "Apa batasan 'normal' dari ketidaknormalan yang Aku alami (OLD)?".
Saat itu Aku menduga bahwa OLD yang Aku alami berada dalam tahap ringan, bukan sesuatu yang perlu dikhawatirkan. Selaras dengan dugaanku, mbaknya mengatakan bahwa yang Aku alami adalah suatu hal yang normal dan tidak mengapa, tidak perlu dikhawatirkan.
Mbaknya mempertegas, sesuatu yang perlu dikhawatirkan dalam psikologi adalah keberadaan gangguan yang nyata akibat kondisi psikologis dalam diri. Kemudian, Aku kembali bertanya "gangguan? gangguan yang seperti apa?". Ia menjawab yang kira-kira jawabannya "ketika tidak ada gangguan dalam keseharian, tidak ada aktivitas yang terganggu, baik dalam diri, kebiasaan, dan lingkungan sekitar, maka semua hal itu adalah normal". Sesuatu yang Saya pahami dari mbaknya yakni gejala atau kondisi psikologis yang mengubah sesuatu secara nyata disebut gangguan. Ketika kita berubah karena kondisi psikologis, di situlah terdapat suatu gangguan. Jika bersifat positif maka (mungkin) perlu disyukuri, sebaliknya, ketika berupa perubahan negatif maka perlu diwaspadai dan sangat perlu diperbaiki.
Biar Aku ceritakan sedikit lebih detail mengenai 'vonis OLD' diri sendiri. Saya mengalami sebuah obsesi cinta untuk memilikinya secara ambisius. Saya terus berpikir dan mengupayakan cara untuk mendapatkannya 'dengan cara yang benar'. Benar di sini adalah tidak melanggar syariat, karena Islam melarang pacaran kan. Nah, ini yang Saya khawatirkan. Saya khawatir jika apa yang Saya lakukan (terus mencari dan memperjuangkan cara yang 'halal' untuk mendapatkannya) adalah sebuah gangguan psikologis. Saya tidak mengalami gangguan dalam aktivitas, di sisi lain bahkan jadi makin bersemangat dan bergairah dalam menyelesaikan persoalan hidup. Mbaknya mengonfirmasi deh, apa yang Saya alami masih tergolong normal. Begitu gaes hehe.
Itu cerita utamanya, ada cerita lain yang ingin Aku bagikan nih. Mbaknya menekankan, apa yang terjadi pada Saya (baca : jatuh cinta) adalah hal yang normal dan wajar. Itu adalah fakta yang harus diterima, sederhananya, harus ada penerimaan dalam diri bahwa apa yang sedang terjadi adalah suatu hal yang normal dan tidak membawa sesuatu yang buruk. Saya juga pernah mendengar pesan semacam ini sebelumnya ketika teman Saya yang depresi disadarkan dengan "depresi adalah hal yang normal". Normal di sini bukan untuk 'melegalkan' apa yang sedang terjadi, melainkan untuk menenangkan kondisi kejiwaan seseorang, mengurangi rasa khawatir dalam diri, begitu.
Dirinya juga berujar bahwa ia hanya bisa menyampaikan saran, karena biar bagaimana pun tugas psikolog adalah memberikan saran terbaik demi perbaikan kejiwaan seseorang. Lucunya, mbaknya juga bilang "salah satu orang yang paling keras kepala dan sulit dinasihati adalah orang yang sedang jatuh cinta". Aku agak ketawa sih, dia paham lah dalam percakapan kami Aku memang jadi agak keras kepala saat menjelaskan ambisi dan perempuan yang Aku cintai.
Selain itu, mungkin agak khawatir ya, atau memang begitu standar pelayanan konsultasi menghadapi orang yang sedang jatuh cinta. Mbaknya juga mengatakan tuh "hiduplah untuk diri sendiri". Ini sebenarnya masuk ke dalam dugaan sih. Aku sudah menduga ia akan mengatakan ini karena dari cerita temanku yang sudah pernah ke psikolog, ia mendapatkan pesan yang sangat umum ini, padahal kasusnya beda.
Kenapa bisa?
Sederhana. Kalimat itu adalah kalimat umum yang berlaku di mana pun dan kapan pun.
Ketika kita hidup sebagai budak cinta, seakan-akan hidup kita cuma karena cinta.
Ketika kita depresi, seakan-akan hidup kita dipengaruhi orang dan lingkungan sekitar.
Ketika kita broken home, seakan-akan keluarga adalah satu-satunya kehidupan kita.
See?
"Cinta itu perasaan yang datang dan pergi. Suatu saat kita jatuh cinta sama si A, lalu berapa lama kemudian kita jatuh cinta sama B"
Ungkap mbaknya yang bagi Saya cukup menyebalkan -karena Saya keras kepala haha. Saya sudah mendengar ungkapan itu sejak SMA dan yang mbaknya maksudkan adalah kasus percintaan remaja. Oh jelas dong, Saya nggak terima kalau kasus percintaan Saya adalah percintaan remaja. Saya sudah melewati masa itu termasuk kisah percintaannya. Hingga akhirnya Saya sebutkan bahwa sudah 2 tahun Saya punya perasaan cinta tersebut, lalu mbaknya kaget haha. Katanya, 2 tahun itu waktu yang cukup lama. Saya langsung mikir sih, eh, tepatnya teringat. Teman Saya saja bisa bertahan sampai 6 tahun, masa 2 tahun saja cukup membuat orang lain terkejut?.
Saya rasa cukup sih cerita pengalaman ke psikolognya. Untuk Kamu yang memang penasaran bagaimana rasanya berdialog, eh, berkonsultasi, kira-kira seperti itu rasanya. Ini versi Didik Setiawan sih, versi yang bakalan beda dengan versi lainnya *sombong ceritanya*.
Selanjutnya, Saya akan cerita hal yang tidak relevan, namun terinspirasi dari momen konsultasi tersebut. Jika Kamu masih tertarik menyimak silakan lanjutkan scrolling.
Konsultasi tersebut dilakukan di ruang laktasi berduaan saja dalam keadaan hening. Sunyi senyap yang diiringi detak jam dinding, lengkap dengan suara langkah kaki yang terkadang melintas dan hiruk pikuk GMC yang kadang terdengar samar-samar.
Aku merasa sedikit lega setelah konsultasi dengan alasan yang sangat jelas. Sebenarnya yang paling terasa adalah rasa kecewa sih, kecewa karena pada akhirnya ada perempuan lain yang mengetahui rahasia kasus percintaanku agak detail selain si dia. Rasa lega ini masih kalah dengan rasa kecewa. Njuk ku kudu piye?.
Rasa lega yang tercipta disebabkan Aku dapat mengeluarkan semua unek-unek yang terpendam -walaupun jaaauuuhh lebih lega pas Aku sampaikan perasaanku ke 'dia'. Di sini, memang mbaknya berperan sebagai pemicu, pemantik, agar kita terus berbicara, menyampaikan semuanya, bahkan sampai kelelahan. Kemudian, mbaknya menanggapi dengan berpihak pada kita seraya mengoreksi apa yang salah dalam persepsi kita. Ya, itu tugas psikolog memang. Karena mbaknya adalah psikolog, jawaban yang disampaikan pun sangat tersturktur, lugas, dan jelas. Wajar sih, menjunjung tinggi nilai profesionalitas.
Ketika Aku merasa lega, merasa dihargai, merasa ada yang membantuku dalam hidup, seketika Aku paham, saat itu juga Aku paham apa itu perhatian dari lawan jenis, bagaimana rasanya diperhatikan, dan mengapa banyak orang yang berpacaran.
Selama SMA Aku terus menyelidiki mengapa orang-orang berpacaran dan jawaban mereka sangat tidak masuk akal bagiku. Umumnya, temanku pacaran karena cinta saja. Sebenarnya masuk akal, tapi mungkin karena minim pengalaman jadinya Saya bilang tidak masuk akal haha.
Ternyata, maksud dari cinta yang teman Saya maksud adalah tidak hanya perasaannya, tetapi juga dampak hubungan akibat cinta itu sendiri. Mereka yang jatuh cinta akan saling memberikan perhatian penuh, persis seperti seorang psikolog yang memberikan pelayanan penuh.
Akhirnya Aku benar-benar paham mengapa orang-orang menginginkan berpacaran. Mereka menginginkan sebuah perhatian dari seseorang yang dapat mengerti mereka. Ketika keluarga memberikan perhatian sebatas hubungan darah, maka pacar adalah orang yang dapat memberikan perhatian secara tulus berlandaskan cinta. Seorang pacar selalu bersedia dan tersedia untuk memperbaiki kondisi psikologis pacarnya, begitu idealnya.
Sial memang, Saya baru menyadari dan memahami, ternyata begitu dalam alasan mengapa orang berpacaran. Yaudahlah, karena pacaran adalah hal terlarang, jadi tidak bisa dilakukan haha.
Sebagai penutup, mungkin tulisan ini akan dikunjungi orang asing (baca : bukan teman dunia nyata), jadi jika ada yang punya pengalaman bisa banget ditulis di kolom komentar, tinggalkan jejak gitu deh. Tapi itu hanya sebuah anjuran yang tidak perlu dihiraukan sih hehe.
Selamat berkonsultasi ke psikolog gaes, semoga masalahmu segera terselesaikan dengan baik ya.
Wassalamu'alaikum warahmatullah wabarakatuh
Ahad, 20 Oktober 2019
17.38
Didik Setiawan
0 Komentar