"Kalau judulnya bukan 'Joker', film ini ya biasa aja, nggak akan sepopuler ini"Kira-kira begitu isi suatu komentar di instagram. Jelas saja Saya setuju mengingat branding 'Joker' sudah terlalu populer dan melegenda. Jadi, jika ada yang mengatakan bahwa popularitas film ini sangat bertumpu pada branding Joker itu sendiri, maka ia telah mengatakan kebenaran sejati. Makanya, Joker pun diperankan oleh aktor berkelas Oscar, termasuk Joker Leto yang begitu tidak disukai karena tidak memiliki nilai-nilai 'Kejokeran'.
Ini bukan tulisan mengenai Joker Leto kok, tapi tentang Joker Joaquin. Sebelum ke sana, Saya ingin berbagi pandangan mengenai Joker Leto yang begitu tidak disukai.
Ia digambarkan sebagai seorang maniak, gangster, oraang sinting dengan ketajirannya. Tampilannya sangat mirip dengan komik The Joker : Endgame (2015) dan sebenarnya sangat cocok untuk berkolaborasi bersama Harley. Penggambarannya yang sangat jelas sebagai budak cinta memberikan rasa berbeda pada film. Saya lebih suka menyebutnnya sebagai kisah romansa garis keras. Digambarkan dengan jelas bagaimana Harley mengejar Joker dan beragam upaya penyelamatan Harley yang dipaksa menjadi anggota Suicide Squad (2016), meskipun ia seharusnya yakin bahwa Harley akan baik-baik saja.
Fans Joker banyak yang kecewa dengaan peran Leto, padahal mungkin memang benar-benar beralasan. Leto hanya mengikuti skrip - yang kata banyak orang buruk - dengan penggambaran seorang budak cinta yang tajir. Ternyata, penonton tidak menyukai hal ini.
Ya sudah, industri film adalah bisnis. Kalau konsumen tidak suka, masa iya harus dipertahankan?. Jadi mari kita ke bisnis Joker yang mengalahkan rekor Venom (2018).
Sudah agak lama dari tanggal perilisan ya? ini mungkin agak panjang dan mengandung banyak spoiler, jadi seperti biasa, jangan dibaca apalagi untuk Kamu yang benci dengan spoiler.
Oke, sepakat ya?.
Tulisan ini akan Saya buka dengan sebuah kekecewaan dan kekhawatiran. Tentunya ini hanya sekelumit pandangan pribadi Saya yang sangat subjektif dan dapat menimbulkan perselisihan pendapat yang nyata.
Saya sempat khawatir jika saat menonton film Saya termasuk golongan orang yang tidak paham esensi film ini. Dan, ya, Saya kecewa pada diri, ternyata Saya termasuk golongan orang yang tidak dapat menikmati film ini sepenuhnya.
Alasannya mungkin sama dengan mereka yang mengatakan bahwa film ini buruk. Saya terbiasa menonton film action dan sci-fi yang memanjakan mata dengan adegan pertempuran dan melupakan drama lengkap dengan sentuhan momen emosional yang manusiawi. Akhirnya, Saya agak kesulitan dalam merasakan film ini sebagai karya film bermoral, bukan karya film laga seperti biasanya.
Rasa khawatir dan kecewa selanjutnya adalah keyakinan akan nilai-nilai Joker yang telah dipercaya selama ini. Saya sendiri tidak mengacu Heath Ledger, Saya lebih suka mengacu pada Joker di DCAU (DC Animated Universe) yang ternyata memang lebih representatif ditunjukkan oleh Jared Leto. Sosok Joker maniak yang gila.
Benar kata pendapat-pendapat yang tersebar di internet, Heath Leadger membawa sosok Joker seperti yang kita inginkan, tetapi Joaquin Phoenix membawa sosok yang lebih realistis dan manusiawi. Semua sangat realistis, persis kisah Batman Bale dalam Triloginya.
Akhirnya Saya mengerti bahwa rasa khawatir dan kecewa yang terjadi adalah karena terdapat suatu set poin atau standar Joker yang dimiliki dalam sudut pandang pribadi. Dari situlah Saya bisa memahami mengapa sebagian orang tidak menyukai film ini. Pada tulisan ini, hal itulah yang ingin Saya bahas.
1. Bikin ngantuk
Banyak komentar yang Saya temukan baik di facebook maupun instagram menyatakan demikian. Jelas saja, alur yang sangat lambat, pengambilan gambar close up yang tidak jelas tujuannya cukup membosankan untuk diamati terus menerus.Jika dan hanya jika, mereka terbiasa dan berharap ini adalah film action. Alur yang lambat memang disengaja untuk menggiring penonton untuk merasakan, bukan untuk berpikir apalagi mengikuti dan menerka apa yang akan terjadi selanjutnya. Film drama semacam ini memang membutuhkan scene khusus untuk memberikan pesan dan kesan mendalam pada penonton yang mengerti bagaimana sebuah film drama berkualitas dibuat. Apa yang terjadi jika orang yang menggemari film dinamis menonton film ini?.
Mereka yang paham bahwa ini adalah film drama, akan mudah menikmati tiap potongan film yang penuh makna. Sebuah film yang dapat dirasakan rasa sedihnya, rasa sakitnya, bukan perasaan berdebar seperti film petualangan, bukan juga film teknologi yang membuat kita menduga akan ada teknologi apa di kelanjutannya. Ini film manusia, film yang mengajak kita untuk merasa.
2. Alurnya bisa ketebak
Ya, tentu saja. Film ini alurnya sangat sederhana. Orang tertindas terus menerus, lalu jadi orang jahat. Arthur tidak sekuat Naruto, tokoh yang dengan bodohnya mereka banding-bandingkan padahal secara jelas mereka tidak bisa dibandingkan. Arthur hanyalah orang miskin, lemah, berpenyakit, tertindas, terfitnah, dan hal buruk yang terus menerus menimpa dirinya. Kalau kata Mark Hamill dalam Batman : The Killing Joke (2016) "all it takes is one bad day to reduce the sanest man alive into a lunatic. That's how far the world is from where I am. Just one bad day".Alur memang bukan sesuatu yang dijual dari film ini, tidak seperti film action yang selalu menawarkan alur dinamis, atau pun lagi lagi harus dibandingkan dengan Batman Bale yang menyajikan alur luar biasa kerennya.
Alur bukanlah sesuatu yang dijual di film ini, sekali lagi. Sepertinya sudah banyak yang tau bahwa Joker -yang merupakan sebuah simbol kekacauan, anti tesis dari keteraturan yang dibawa oleh Batman- adalah orang-orang baik yang akhirnya memilih menjadi orang jahat. Tak ada yang tau bagaimana Heat Ledger menjadi Joker, namun dengan jelas ia pernah mengatakan bahwa ia bertindak baik pada istrinya sebelum ditinggalkan. Atau pun Joker DCAU yang terpaksa bekerja menjadi Redhood hingga akhirnya jatuh ke cairan kimia setelah seharian mengalami hari yang amat buruk.
3. Filmnya B aja
Memang filmnya sangat biasa, film ini bahkan Saya katakan tidak membawa gagasan yang luar biasa baru. Benar kata pengunjung Venice Festival, fim ini sangat mirip dengan Taxi Driver (1976). Saya berani mengatakan, bahkan 85% mirip. Satu hal yang membuat Saya senang adalah sebuah kenyataan bahwa film ini memiliki konsep yang berbeda dengan V for Vendetta (2005) - setelah sekian lama Saya memiliki kekhawatiran untuk hal itu.Film ini bukanlah film yang menawarkan cerita yang luar biasa bagus seperti Inception (2010), misalnya. Ini hanyalah sebuah film yang bisa dirasakan, jika Kamu tidak dapat merasakan film, maka dengan mudah kamu akan mengatakan ini adalah film yang buruk.
4. Nggak seru
Lagi-lagi Saya sangat setuju dengan pendapat yang satu ini. Jangan berharap mendapatkan keseruan dari film ini, ini bukanlah film seru yang membuat penontonnya berharap, bersemangat, atau bahkan terinspirasi, bukan. Film ini justru membuat mu merenung dan termenung, tapi lagi lagi, jika dan hanya jika kamu dapat merasakan film ini.Aneh memang, ketika banyak film sengaja diciptakan demi keseruan yang epic, maka film ini dibuat untuk menggerakkan simpati dan empatimu, mengajakmu bersedih. Bukan memicu otak dan fantasimu dalam menyongsong hari esok.
Tidak ada Harley di sini, tak ada Batman juga. Yang ada hanyalah Gotham dengan segala kebobrokannya yang tidak pernah berubah, atau bahkan baru bermula.
Satu hal yang cukup menarik dari film ini adalah mereka, WB dan DC, sepakat untuk memberi rating R untuk film yang membawa tokoh ikonik. Sebagai seseorang yang bahkan melampaui 21+ tentunya Saya menyelidiki tiap potongan film untuk memahami mengapa mereka dengan beraninya membatasi penontonnya, sebuah keputusan marketing yang penting.
Ada dua hal utama dalam rating dewasa yang umumnya dipakai, nudity dan violence. Seketika langsung ingat dengan Watchmen (2009) yang memang sangat wajib diberikan rating R.
Sepanjang film Saya terus mencari, di mana letak violence dan nudity. Hasilnya cukup mengecewakan, karena menurut saya pribadi, dua hal tersebut masih normal untuk rating 13+.
Lalu Saya berpikir, apa Saya melewatkan sesuatu yang begitu penting dalam membuat batasan umur penonton?. Secara perlahan, akhirnya Saya menyadari bahwa 'rasa' dari film inilah yang menjadi alasan diberlakukan pembatasan umur. Rating 17+ mengasumsikan bahwa penonton sudah cukup dewasa untuk membedakan mana yang baik dan buruk, mana pembunuhan oleh pembunuh, mana pembunuhan karena terpaksa.
Parahnya, Saya menyadari bahwa semua pembunuhan dalam film bisa dimaklumi. Nah, ini yang kacau jika aturan 17+ tidak diberlakukan.
Pembunuhan yang Rasional
Sebagai bagian lain yang berbeda, Saya akan mencoba menalar tiap alasan pembunuhan yang terjadi. Masih tertarik?.
Oh iya, di sini diasumsikan pembunuhan tetaplah pembunuhan, meski pun hanya sebuah delusi.
Saya sebenarnya berpikir, misalnya Arthur diam, ia 'hanya' babak belur, tak berpengaruh pada pekerjaannya. Namun, karena momen itu adalah pembullyan kedua kalinya dan ia punya kesempatan untuk melawan, ia pun memanfaatkan kesempatannya. Satu lagi, ia sebenarnya masih bisa untuk tidak membunuh, ia masih bisa menakuti tiga orang tersebut dengan pistol yang ia bawa. Namanya film, akhirnya ia putuskan untuk menembak.
Tembakannya terlihat masih asal dan lagi-lagi ia punya kesempatan untuk tidak membunuh orang ketiga. Sebagai orang yang takut untuk dipenjarakan, ia pun akhirnya membunuh orang ketiga agar tidak menjadi saksi.
Di sini sebenarnya Saya masih berpikiran positif. Sakit yang dialaminya sebatas tertawa dan pikiran yang aneh -tertawa saat orang lain tak tertawa dan sebaliknya-. Hingga akhirnya ia berlari ke toilet. Saya benar-benar mengira ia duduk atau menangis menyesali perbuatannya -sebagaimana yang tertera pada skrip-, tapi ternyata ia malah menari. Saya akhirnya berkesimpulan "oalah, beneran sakit nih orang". Hal ini sangat terasa ketika ia jadi lebih mudah untuk melakukan pembunuhan selanjutnya dan justru merasa senang.
Mari kita memosisikan diri sebagai Arthur. Tertawa karena sakit dan tidak bisa dihentikan, kemudian orang lain salah paham namun kita tidak bisa menjelaskan karena terus menerus tertawa. Lalu, sebagai orang lemah yang kelaparan kita dihajar tiga orang, kita tak bisa berkelahi. Kita bunuh dua dari mereka sebagai pembelaan diri. Sedangkan pembunuhan ketiga karena takut ia menjadi saksi dan kita dipenjarakan. Sial, sangat realistis.
Nah, di sini benar-benar harus dipertegas. Konteks pembunuhan yang dilakukan oleh orang sakit harus ditanamkan dalam-dalam. Bagaimana mungkin seseorang dapat bahagia setelah membunuh? kemudian, merayakannya dengan menari??.
Rating R diperlukan untuk membatasi penonton dalam berpikir bahwa yang dilakukan Arthur dapat dibenarkan. Biar bagaimana pun hanya orang sakit yang bahagia ketika membunuh. Terbayangkan kah olehmu jika manusia yang tak dewasa dan memaklumi pembunuhan yang terjadi di film dan memaklumi pembunuhan atas dasar bela diri? terlebih jika ia akhirnya mendapatkan kesenangan. Hanya orang sakit yang merasakan kebahagiaan pembunuhan.
Ibunya yang delusional menganggap pembullyan anaknya semasa kecil tidak bermasalah bagi Arthur. Padahal, Arthur memang sakit saraf hingga hanya bisa tertawa meski pun sedih. Ini menjadi alasan yang jelas mengapa ia memanggil anaknya -yang ternyata adopsi- sebagai Happy.
Pembunuhan dilakukan tidak dengan keji, namun cukup mendalam dan membawa luka. Seorang anak yang dilukai oleh ibunya seumur hidup kemudian punya alasan untuk balas dendam pada waktu yang tepat. Ini bukanlah konsumsi anak kecil, jelas, hanya orang dewasa yang dapat memahami alasan pembunuhan secara jernih.
Mari kita beranjak sejenak menuju keluarga Arthur.
"Cuci tangan" itu yang dilakukan Randall. Membiarkan Arthur terjebak dengan kasus pembunuhannya dan memperparah keadaan dengan mengatakan bahwa Arthur berhutang padanya demi sebuah revolver?.
Akhirnya, Arthur pun melampiaskan kebenciannya dengan membunuhnya, pembunuhan yang sadis, karena kebetulan ia sedang membawa gunting. Saya sendiri setuju jika ini adalah bagian film yang paling sadis, gila, sadis banget sih. Di tambah suasana mencekam yang tercipta serta kondisi canggung oleh teman kerjanya yang lain.
Di bagian sini Saya sudah mulai agak tidak mengerti mengapa Akhirnya Arthur bertransformasi menjadi Joker dengan membawa lelucon pistolnya. Entah ia ingin bunuh diri atau memang sengaja ingin membunuh Murray di depan publik.
"Knock knock" begitu kata Arthur. Bagian yang sangat garing menurut Saya dan di situlah justru kondisi semakin memanas. Setelah membunuh Murray di depan publik, terlihat ia duduk dan menggerakkan kakinya, persis seperti saat menonton Thomas di TV saat di rumah.
Terlihat ia bergidik kesal dan entah mengapa ia tidak pergi, ia seakan tidak merasa bersalah dan justru mulai menikmati kekacauan di studio hingga akhirnya menembak mayat Murray dan mendapatkan kesenangan yang terlihat tulus. Dalam film, Joaquin berhasil menunjukkan sosok yang akhirnya mendapatkan kebahagiaan dengan melihat kekacauan di sekelilingnya. Kacau karena rasa takut yang ia perbuat. Ia pun menggapai kamera, mirip seperti adegan di Batman : The Dark Knight (2008) saat Joker meminta Batman asli muncul. Dan memang, pada akhirnya ia ditangkap, dibawa ke dalam mobil polisi, sangat mirip TDK.
Di sini sudah terlahir Joker yanng sama sepeti TDK, Joker yang menyukai kekacauan dan huru hara.
Kalau dipikir-pikir, poin menarik dari pembunuhan ini adalah ketika pada akhirnya ia membalas Murray dengan membunuhnya di depan publik setelah sebelumnya dipermalukan di depan publik. Sebuah balas dendam yang dapat diterima dan dinalar sebenarnya. Anda telah mempermalukan Saya di depan publik demi popularitas Anda, maka sekarang gantian, Saya akan membunuh Anda demi popularitas Saya. Jahat ya?.
Berbicara mengenai simbol kekacauan, Batman Affleck sendiri pernah berkata bahwa Gotham memang punya masalah dengan badut sejak lama. Menyebalkannya lagi, jika dirunut dengan film Batman vs Superman (2016) maka Ben Affleck adalah Batman yang tepat dari segi umur. Terlebih, pada BvS tidak dijelaskan mengapa kedua orang tua Bruce dibunuh. Tidak seperti TDK yang dijelaskan bahwa terjadi perampokan, TDK selaras dengan serial Gotham.
Oke, kembali ke film Joker. Mari asumsikan bahwa memang terjadi pembunuhan di ending film. Alasannya -dengan menyebalkan- bisa Saya katakan dapat dipahami dan masuk akal (lagi).
Ia kecewa dengan pemerintah yang memotong anggaran sosial untuk pengobatan sehingga orang dengan penyakit sepertinya terbengkalai. Namun, ketika sudah sampai Arkham, ia dilayani kembali. Ia dilayani sebagai seorang yang butuh kesembuhan, bukan sebagai bentuk pencegahan. Rasa kekecewaan ini begitu berat untuk dirasakan, terlebih saat ia ditanyakan apakah ia punya penyakit mental/ saraf? padahal sudah jelas ia punya dan sudah mendapat 'kartu khusus' dari dokter (yang ditunjukkan di bis di bagian awal film). Seakan-akan riwayat sakit Arthur yang begitu parah ini tidak ditindaklanjuti.
Sebegitu bobroknya kah sistem pelayanan kesehatan di kota Gotham? mereka tidak begitu memperhatikan kebutuhan khusus seperti dirinya yang butuh obat dan penanganan khusus. Ditambah, adanya kemiripan petugas Arkham dengan petugas sosial, mungkin ini memperkuat dirinya untuk memiliki rasa benci pada orang-orang seperti itu.
Film diakhiri dengan jejak darah saat berjalan di lorong Arkham dengan tangan terborgol. Dengan ngeri Saya merenungi scene terakkhir. Bagaimana mungkin Arthur membunuh psikiater dengan tangan diborgol dan sepatu yang meninggalkan jejak darah? menggunakan pulpen seperti John Wick (2019)? atau dengan kaki? ditendang? diinjak?. Sadis, tapi masuk akal.
Rating 17+ yang diberi adalah sebuah pengaman untuk sebuah kasus pembunuhan yang masuk akal dan dapat dimaklumi manusia. Perlu diperjelas bahwa ia adalah orang yang sakit secara harfiah; mendapatkan kesenangan setelah membunuh adalah penyakit yang berbahaya.
Film ini membutuhkan kedewasaan yang cukup baik untuk menyadari, bahwa, meski pun pembunuhan yang terjadi sangat bisa diterima, alasan yang logis, hati yang rapuh, dan jiwa yang sakit. Pembunuhan tetaplah perkara yang tidak bisa dibenarkan.
Kalau kamu bertanya apakah Saya menyukai film ini? jawabannya tentu saja!. Saya menyukai film ini karena begitu manusiawi. Jika kamu bertanya apa pendapatku mengenai film ini, Saya punya sebuah kesimpulan.
Oh iya, di sini diasumsikan pembunuhan tetaplah pembunuhan, meski pun hanya sebuah delusi.
1. Pembunuhan di kereta
Teman kerjanya menyarankan Arthur untuk membawa pistol, tepatnya revolver, sebagai alat bela diri setelah di bagian awal kita disajikan bagaimana Arthur dibully hingga hal itu mengganggu pekerjaannya.Saya sebenarnya berpikir, misalnya Arthur diam, ia 'hanya' babak belur, tak berpengaruh pada pekerjaannya. Namun, karena momen itu adalah pembullyan kedua kalinya dan ia punya kesempatan untuk melawan, ia pun memanfaatkan kesempatannya. Satu lagi, ia sebenarnya masih bisa untuk tidak membunuh, ia masih bisa menakuti tiga orang tersebut dengan pistol yang ia bawa. Namanya film, akhirnya ia putuskan untuk menembak.
Tembakannya terlihat masih asal dan lagi-lagi ia punya kesempatan untuk tidak membunuh orang ketiga. Sebagai orang yang takut untuk dipenjarakan, ia pun akhirnya membunuh orang ketiga agar tidak menjadi saksi.
Di sini sebenarnya Saya masih berpikiran positif. Sakit yang dialaminya sebatas tertawa dan pikiran yang aneh -tertawa saat orang lain tak tertawa dan sebaliknya-. Hingga akhirnya ia berlari ke toilet. Saya benar-benar mengira ia duduk atau menangis menyesali perbuatannya -sebagaimana yang tertera pada skrip-, tapi ternyata ia malah menari. Saya akhirnya berkesimpulan "oalah, beneran sakit nih orang". Hal ini sangat terasa ketika ia jadi lebih mudah untuk melakukan pembunuhan selanjutnya dan justru merasa senang.
Mari kita memosisikan diri sebagai Arthur. Tertawa karena sakit dan tidak bisa dihentikan, kemudian orang lain salah paham namun kita tidak bisa menjelaskan karena terus menerus tertawa. Lalu, sebagai orang lemah yang kelaparan kita dihajar tiga orang, kita tak bisa berkelahi. Kita bunuh dua dari mereka sebagai pembelaan diri. Sedangkan pembunuhan ketiga karena takut ia menjadi saksi dan kita dipenjarakan. Sial, sangat realistis.
Nah, di sini benar-benar harus dipertegas. Konteks pembunuhan yang dilakukan oleh orang sakit harus ditanamkan dalam-dalam. Bagaimana mungkin seseorang dapat bahagia setelah membunuh? kemudian, merayakannya dengan menari??.
Rating R diperlukan untuk membatasi penonton dalam berpikir bahwa yang dilakukan Arthur dapat dibenarkan. Biar bagaimana pun hanya orang sakit yang bahagia ketika membunuh. Terbayangkan kah olehmu jika manusia yang tak dewasa dan memaklumi pembunuhan yang terjadi di film dan memaklumi pembunuhan atas dasar bela diri? terlebih jika ia akhirnya mendapatkan kesenangan. Hanya orang sakit yang merasakan kebahagiaan pembunuhan.
2. Pembunuhan Penny
Penny dibunuh dengan sangat beralasan. Film ini menyajikan perjuangan Arthur dalam menelusuri dan membuktikan kebenaran apa yang ibunya sampaikan selama ia hidup. Ia berjuang hingga mendatangi rumah Thomas Wayne dan mendatangi Arkham demi membela ibunya. Nyatanya? hanya kekecewaan lah yag dia dapatkan.Ibunya yang delusional menganggap pembullyan anaknya semasa kecil tidak bermasalah bagi Arthur. Padahal, Arthur memang sakit saraf hingga hanya bisa tertawa meski pun sedih. Ini menjadi alasan yang jelas mengapa ia memanggil anaknya -yang ternyata adopsi- sebagai Happy.
Pembunuhan dilakukan tidak dengan keji, namun cukup mendalam dan membawa luka. Seorang anak yang dilukai oleh ibunya seumur hidup kemudian punya alasan untuk balas dendam pada waktu yang tepat. Ini bukanlah konsumsi anak kecil, jelas, hanya orang dewasa yang dapat memahami alasan pembunuhan secara jernih.
Mari kita beranjak sejenak menuju keluarga Arthur.
- Penny bekerja di keluarga Thomas, karena ia juga sakit, maka ia merasa Thomas adalah suaminya dan ia adalah istri yang dibuang.
- Penny mengadopsi anak, namun karena ia sakit, ia menanggap bahwa Arthur bukanlah anak adopsi.
- Penny melihat Arthur selalu tertawa, tidak pernah sedih meski pun saat kecil dibully, ia pun memanggilnya Happy.
- Penny (mungkin) tau kalau Arthur sakit, tapi karena Penny juga sakit dan ia tidak menyadari sakitnya sendiri, akhirnya pikirannya kacau: sakit Arthur bukanlah sakit parah. Ia gagal memahami alasan mengapa anaknya selalu tertawa. Ia gagal memahami bahwa sakitnya Arthur adalah yang membuat Arthur selalu tertawa.
- Arthur banyak lupa masa kecilnya, karena sakit, sehingga ia percaya dan yakin bahwa Penny adalah ibu kandung yang menyayangi dia.
- Arthur mungkin saja memaklumi mengapa Penny tidak begitu paham kondisinya karena usia tuanya.
- Arthur tidak tahu kalau Penny sakit.
3. Pembunuhan Randall
Saya benar-benar menempatkan pembunuhan ini sebagai pembunuhan yang paling rasional. Teman kerja yang dipercaya, memberikan bantuan untuk membela diri, bahkan dengan sukarela menunda pembayaran. Pada akhirnya secara nyata menjadi pengkhianat yang mau berlepas diri dari kepemilikan pistol yang ia berikan ke Arthur."Cuci tangan" itu yang dilakukan Randall. Membiarkan Arthur terjebak dengan kasus pembunuhannya dan memperparah keadaan dengan mengatakan bahwa Arthur berhutang padanya demi sebuah revolver?.
Akhirnya, Arthur pun melampiaskan kebenciannya dengan membunuhnya, pembunuhan yang sadis, karena kebetulan ia sedang membawa gunting. Saya sendiri setuju jika ini adalah bagian film yang paling sadis, gila, sadis banget sih. Di tambah suasana mencekam yang tercipta serta kondisi canggung oleh teman kerjanya yang lain.
4. Pembunuhan Murray
Murray terlibat secara tidak langsung. Sebagai seorang pengagum, Arthur benar-benar menaruh harapan yang tinggi akan tokoh idolanya. Siapa sangka, ketika ia menjadi bahan untuk dipermalukan Murray di muka publik, justru publik makin tertarik dengan Arthur, ingin melihat langsung di acara televisi.Di bagian sini Saya sudah mulai agak tidak mengerti mengapa Akhirnya Arthur bertransformasi menjadi Joker dengan membawa lelucon pistolnya. Entah ia ingin bunuh diri atau memang sengaja ingin membunuh Murray di depan publik.
"Knock knock" begitu kata Arthur. Bagian yang sangat garing menurut Saya dan di situlah justru kondisi semakin memanas. Setelah membunuh Murray di depan publik, terlihat ia duduk dan menggerakkan kakinya, persis seperti saat menonton Thomas di TV saat di rumah.
Terlihat ia bergidik kesal dan entah mengapa ia tidak pergi, ia seakan tidak merasa bersalah dan justru mulai menikmati kekacauan di studio hingga akhirnya menembak mayat Murray dan mendapatkan kesenangan yang terlihat tulus. Dalam film, Joaquin berhasil menunjukkan sosok yang akhirnya mendapatkan kebahagiaan dengan melihat kekacauan di sekelilingnya. Kacau karena rasa takut yang ia perbuat. Ia pun menggapai kamera, mirip seperti adegan di Batman : The Dark Knight (2008) saat Joker meminta Batman asli muncul. Dan memang, pada akhirnya ia ditangkap, dibawa ke dalam mobil polisi, sangat mirip TDK.
Di sini sudah terlahir Joker yanng sama sepeti TDK, Joker yang menyukai kekacauan dan huru hara.
Kalau dipikir-pikir, poin menarik dari pembunuhan ini adalah ketika pada akhirnya ia membalas Murray dengan membunuhnya di depan publik setelah sebelumnya dipermalukan di depan publik. Sebuah balas dendam yang dapat diterima dan dinalar sebenarnya. Anda telah mempermalukan Saya di depan publik demi popularitas Anda, maka sekarang gantian, Saya akan membunuh Anda demi popularitas Saya. Jahat ya?.
5. Pembunuhan di Arkham
Entah apa maksudnya, psikiater di Arkham sangat mirip dengan pelayan/pekerja sosial di mana Arthur berkonsultasi. Pada film digambarkan bahwa ia tertawa dengan lelucon yang tidak dimengerti, namun digambarkan kematian orang tua Bruce. Konon katanya, ia menyadari bahwa dirinya sudah menjadi simbol kekacauan di Gotham. Ini adalah bagian yang ambigu memang.Berbicara mengenai simbol kekacauan, Batman Affleck sendiri pernah berkata bahwa Gotham memang punya masalah dengan badut sejak lama. Menyebalkannya lagi, jika dirunut dengan film Batman vs Superman (2016) maka Ben Affleck adalah Batman yang tepat dari segi umur. Terlebih, pada BvS tidak dijelaskan mengapa kedua orang tua Bruce dibunuh. Tidak seperti TDK yang dijelaskan bahwa terjadi perampokan, TDK selaras dengan serial Gotham.
Oke, kembali ke film Joker. Mari asumsikan bahwa memang terjadi pembunuhan di ending film. Alasannya -dengan menyebalkan- bisa Saya katakan dapat dipahami dan masuk akal (lagi).
Ia kecewa dengan pemerintah yang memotong anggaran sosial untuk pengobatan sehingga orang dengan penyakit sepertinya terbengkalai. Namun, ketika sudah sampai Arkham, ia dilayani kembali. Ia dilayani sebagai seorang yang butuh kesembuhan, bukan sebagai bentuk pencegahan. Rasa kekecewaan ini begitu berat untuk dirasakan, terlebih saat ia ditanyakan apakah ia punya penyakit mental/ saraf? padahal sudah jelas ia punya dan sudah mendapat 'kartu khusus' dari dokter (yang ditunjukkan di bis di bagian awal film). Seakan-akan riwayat sakit Arthur yang begitu parah ini tidak ditindaklanjuti.
Sebegitu bobroknya kah sistem pelayanan kesehatan di kota Gotham? mereka tidak begitu memperhatikan kebutuhan khusus seperti dirinya yang butuh obat dan penanganan khusus. Ditambah, adanya kemiripan petugas Arkham dengan petugas sosial, mungkin ini memperkuat dirinya untuk memiliki rasa benci pada orang-orang seperti itu.
Film diakhiri dengan jejak darah saat berjalan di lorong Arkham dengan tangan terborgol. Dengan ngeri Saya merenungi scene terakkhir. Bagaimana mungkin Arthur membunuh psikiater dengan tangan diborgol dan sepatu yang meninggalkan jejak darah? menggunakan pulpen seperti John Wick (2019)? atau dengan kaki? ditendang? diinjak?. Sadis, tapi masuk akal.
Rating 17+ yang diberi adalah sebuah pengaman untuk sebuah kasus pembunuhan yang masuk akal dan dapat dimaklumi manusia. Perlu diperjelas bahwa ia adalah orang yang sakit secara harfiah; mendapatkan kesenangan setelah membunuh adalah penyakit yang berbahaya.
Film ini membutuhkan kedewasaan yang cukup baik untuk menyadari, bahwa, meski pun pembunuhan yang terjadi sangat bisa diterima, alasan yang logis, hati yang rapuh, dan jiwa yang sakit. Pembunuhan tetaplah perkara yang tidak bisa dibenarkan.
Kalau kamu bertanya apakah Saya menyukai film ini? jawabannya tentu saja!. Saya menyukai film ini karena begitu manusiawi. Jika kamu bertanya apa pendapatku mengenai film ini, Saya punya sebuah kesimpulan.
Kesimpulannya adalah membunuh itu menyenangkan.
Didik Setiawan
Sabtu, 12 Oktober 2019
23.26
Sabtu, 12 Oktober 2019
23.26
0 Komentar