Diingatkan Kembali

Kutuliskan semua keresahan dan kegalauanku

Ekspresikan segala keluhku

Tatkala tak ada yang bisa membantu

Berharap tidak menjadi candu

Namun, tak ada maksud untuk meragukan-Mu


Assalamu'alaikum warrahamatullah wabarakatuh

Halo gaes, jumpa kembali dengan Didik Setiawan, penulis aneh yang menceritakan kisah hidupnya secara random hehe. Selanjutnya Saya sapa senior Saya, hai mbak teknik fisika, kemudian teman jurusan sebelah, hai mbak teknik geologi, yang entah mengapa menelisik blog ini hingga menemukan "si Didik".

Saya hendak menceritakan sebuah kejadian nyata yang lumrah dialami manusia pada umumnya, yakni sebuah pertanda yang diberikan oleh Allah kepada hambanya. Ini tidak penting bagi pembaca, bahkan sangat tidak penting, namun begitu berartinya bagi Saya karena dengan pertanda inilah pergerakan hidup Saya lebih dinamis (?). Sebenernya Saya berencana untuk membuat tulisan "Pertanda" di Facebook, namun entah mengapa masih terdapat banyak keraguan prihal konten, mengingat teman kuliah Saya sangat kritis mengenai tulisan bergenre bebas.

Mendapatkan pertanda (?) adalah salah satu penggerak kehidupan Saya yang signifikan, Saya percaya bahwa ini adalah pesan yang Allah sampaikan kepada Saya ketika Saya sangat membutuhkan petunjuk bagaimana jalan ke depannya.

Lantas, mengapa Allah tidak menyampaikan langsung pesannya kepada Saya?.

Sederhana, mengutip dari jawaban di internet yang tidak ada kaitannya dengan agama : apakah mungkin sesuatu yang tak terhingga (Allah) menempati sesuatu yang terhingga (dimensi ruang-waktu, bumi, dunia manusia). Tak terhingga itu bukan jumlahnya, tapi sifatnya, sebuah invers dari sesuatu yang terhingga (ruang-waktu). Dalilnya : Allah tidak menyerupai ciptaannya. Bukankah ruang waktu adalah ciptaan-Nya?. Kalo bingung skip aja hehe.

Ahad lalu, tepatnya 17 Februari 2019, Saya mendapatkan jawaban langsung dari Allah atas keresahan yang Saya alami beberapa hari sebelum waktu tersebut. Permasalahan remaja standar, galau yang berujung depresi, campuran dari akademik dan cinta, senormalnya problem mahasiswa.

Dari sisi akademik, rasa sedih yang kian membuncah tatkala merasakan suasana kuliah yang tak lagi menyenangkan jika dibandingkan dengan tahun sebelum 2018. Rasa hambar kuliah ini memang hal yang normal dialami, hanya saja nampaknya Saya terlalu lemah untuk menghadapi tekanan batin akan permasalahan sepele. Beruntunglah bukan IPK yang Saya hadapi.

Dari sisi cinta, rasa galau merana memojokkan perasaan hingga berpikiran "apa jadinya hidup Saya jika akademik selesai tetapi persoalan cinta begini-begini saja?". Bukan permasalahan cinta satu arah, kasus penikungan, atau pun kasus remaja standar pada umumnya. Saya hanya berpikiran bahwa "mengapa Saya jatuh cinta padanya jika nampaknya ia sangat sulit diraih?". Iya, itu persoalan sederhana yang cukup membuat galau 3 semester belakangan ini.

Kemudian, sampailah pada momen puncak depresi sebagaimana yang Saya baca di buku Wawancara Psikiatri. Saya berpikir "apa yang terjadi pada dunia ketika Saya meninggal dunia?".

Malam itu Saya habiskan dengan memikirkan pertanyaan yang sungguh mengerikan tersebut.

Alarm berbunyi, bergegaslah ke Masjid Pogung Dalangan untuk sholah shubuh.

Semua tampak normal hingga takmir mengumumkan bahwa malam tadi baru saja ada jamaah MPD yang meninggal.

Eh

Eh,

Seriusan?

Yap! Saya hanya bisa tertegun ada yang meninggal baru saja, di malam yang sama tatkala Saya memikirkan "apa yang terjadi pada dunia ketika Saya meninggal dunia?".

Berkunjung ke rumah duka, kemudian menyolatkan jenazah. Sampai kos kembali, tidur.

Pagi itu berjalan normal, tidak ada yang menjadi beban pikiran, semua nampak normal.

Adzan Dzuhur pun berkumandang, setelah menunggu hampir 20 menit, Saya pun bergegas kembali ke MPD.
 
Asli, kaget, jenazah ternyata belum dikebumikan. Hal yang bikin Saya shock bukan karena belum dikebumikan, melainkan Saya lupa, bahwa momen "ada yang meninggal di malam sebelumnya" membuat Saya tertegun shubuh tadi. Ini bukan kebetulan, ini "pesan langsung dari Allah". Saya pun mengantarkan jenazah ke makam.

"Apa yang terjadi pada dunia ketika Saya meninggal dunia?"

Semua jawaban yang Saya pertanyakan terjawab pada hari itu, kesedihan pada keluarga tentu menjadi jawaban paling pertama. Jawaban keduanya adalah amal ibadah dan dosa yang akan menemani di kuburan nanti.
 
Sejak momen itu, Saya jadi sadar bahwa Allah sering memberikan jawaban atas segala permintaan kita, hanya saja tergantung pada kita sendiri, apakah sadar dengan jawaban tersebut?.

Cerita lainnya

Ini adalah sebuah cerita yang berbeda, cerita yang bagiku konyol lantaran bersumber pada kelalaian. Hal ini bermula beberapa hari yang lalu, di hari yang sama juga, Ahad.

Ahad, 24 Februari 2019

Saat itu Saya sedang di Bandung, menyelesaikan suatu keperluan bersama teman-teman. Di malam hari beristirahat di tempat yang berbeda. Sholat shubuh kemudian tidur kembali. Iya, Ini adalah sebuah cerita tentang mimpi.

Suatu saat, sebagaimana keanehan dan keganjilan mimpi pada umumnya, Saya berada di suatu tempat yang sangat mirip dengan TN 7. Dari sana keluar dosen pembimbing TA tatkala Saya menikmati snack. Semua nampak normal bak mimpi pada umumnya.

Kemudian, ternyata di belakang Saya terdapat beberapa mahasiswa, dari obrolannya Saya mengetahui mereka sedang membicarakan respon fisiologis. Iya, tema skripsi Saya!. Tapi saat itu masih normal saja.

Saya pun menoleh ke belakang, penasaran siapa yang sedang membicarakan permasalahan tersebut.

Masih teringat jelas, pemuda di sebelah kiri dan di sebelahnya adalah mas mbak seniorku yang sedang mengerjakan skripsi bersama Saya dengan dosen yang tadi sempat muncul. Dengan ada sedikit jarak, di depannya terdapat sosok yang sangat tak asing bagi Saya, hanya saja ia mengenakan korsa kuning hijau, entah ingatan mana yang otak Saya pilih. Teman Saya, si koordinator konsumsi KKN *i****** itu nampak jelas terlihat, lengkap dengan kaca matanya yang berframe putih.

Banyak kejanggalan perwujudan citra dia dalam mimpi tersebut, misalnya korsa. Saya bahkan lupa kapan melihat dirinya mengenakan korsa, warna favoritnya pun biru. Dan lagi, kaca mata yang ia gunakan sehari-hari frame-nya biru, bukan putih. Nampaknya, putih adalah ingatan yang tercampur lantaran di foto terakhir yang ia unggah di instagram, ia mengenakan pakaian putih. Entahlah, tapi Saya menemukan suatu pencerahan.

Tatkala melihatnya ada di dalam mimpi, Saya langsung bangun, Saya langsung sadar bahwa itu semua pasti mimpi. Padahal, bisa saja Saya memilih lucid dream untuk berbincang dengannya lantaran sudah lama tak berjumpa. Namun, pada momen itu juga Saya menyadari suatu hal.

Saya melupakan skripsi Saya, Saya melupakan dia (?). Setidaknya, ini adalah cara terampuh yang Allah berikan kepada si Didik agar ia mengingat bahwa ada skripsi yang harus diperjuangkan di hari-hari terakhir perkuliahan.

Saat terbangun, jam menunjukkan waktu sekitar jam setengah delapan pagi. Langsung saja bergegas menyelesaikan hal yang bisa diselesaikan selama itu relevan dalam pengejaran dia, eh skripsi.

Sudah sih, ceritanya sampai di situ saja.

Dua hal ini begitu menampar Saya, Saya yakin ini adalah cara Allah mengingatkan suatu hal kepada Saya, cara yang relevan dengan kasus khusus yang Saya alami. Dalam hal ini, kasus khusus tersebut adalah kematian, skripsi, dan dia.

Saya rasa tiap orang akan memiliki pertanda yang berbeda, bergantung pada kasus yang ia alami dan bagaimana ia meminta jawaban kepada Allah. 

Teruntuk siapa pun yang membaca ini, teruslah berdoa meminta jawaban kepada Allah, karena hanya kepada Allah lah kita boleh memohon dan meminta petunjuk dan pertolongan.

Untukmu yang galau mengenai permasalahan percintaan, khususnya "apakah Saya memiliki jodoh?". Saya punya jawaban yang cukup menenangkan bagi Saya pribadi, tapi mungkin agak mengerikan, namun ini adalah sebuah kepastian.

Tidak ada yang menjamin kamu akan berjodoh dengan manusia lainnya, tapi selalu ada jaminan bahwa kamu akan berjodoh dengan kematian. Bukankan semua yang bernyawa pasti akan merasakan mati?.

Didik Setiawan

Musholla Teknologi
FT UGM

Rabu, 27 Februari 2019
22.18

Posting Komentar

0 Komentar