Dengan ketus gadis itu menjawab seraya meninggalkanku dalam remangnya suasana Gedung Dharma Wanita Persatuan. Aku sempat terhenyak dan berpikir, apa ia menanggapai gurauanku dengan begitu seriusnnya?."Kamu menghina Aku dik?"
Dinginnya semilir angin malam terus menusuk epidermis kulit, dinginya malam yang menembus pori-pori pakaian yang tipis terus membumbui momen tersebut, hanya api unggunlah yang bisa menangkal sang angin malam.
Malam itu ada acara bakar-bakar, tapi yaa untuk sebagian orang aja, makan babi soalnya hehe. Ya namanya melepas penat setelah seharian program, biasanya malam memang banyak diisi dengan banyak gurauan, termasuk tawaran makan babi ini.
Semua orang ditawari menyantap gurihnya daging babi, termasuk Aku. Mereka yang menerima tawaran tersebut mau pun yang tidak juga menawarkan kembali ke teman-teman yang lain, bonding-lah. Hanya saja respon berbeda ketika Aku menawarkannya ke gadis tersebut
"Aku nggak bisa makan" ujarku sembari meggelengkan kepala tatkala ditawari daging tersebut. Aku rasa alasannya sudah jelas mengapa sebagian dari kita tidak bisa memakan daging yang satu ini. Mungkin lebih tepatnya nggak boleh sih, tapi entah mengapa Aku sendiri lebih nyaman dengan mengatakan "nggak bisa".
Mulai deh kebiasaan SMA yang masih saja awet sampai sekarang, survey, hmm mungkin lebih cocok disebut ngepoin orang. Ada beberapa pertanyaan yang Aku penasaran banget tentang momen itu, rasa, kualitas, dan track record pastinya.
Untuk rasa, mungkin bisa ditanyakan pada teman yang pernah makan langsung, karena Aku khawatir kalo mendeskripsikan rasanya -yang didapat dari ngepoin orang- malah pengen nyoba haha. Untuk kualitas tentunya berbeda, babi ternak dan babi hutan jelas berbeda, layaknya ayam kampung dan ayam kota, eh ayam potong (?). Selain itu, metode pengolahannya juga pasti turut berkontribusi besar dalam memengaruhi kualitas daging yang akhirnya disajikan.
Yap, tulisan selanjutnya adalah penggalian track record, riwayat makan babi lah. Karena jelas akan sangat berbeda jawaban yang diperoleh dari orang yang sering makan, kadang-kadang makan, dan yang pertama kali makan. Hmm sudah mulai bisa menebak arah tulisan?. Tapi apa dugaanmu sesuai dengan ending-nya? Mari lanjut~.
Ada tiga orang yang . . ., eehhmm, jujur saja, Aku terpukau dengan jawaban mereka tatkala kutanyakan mengenai pengonsumsian daging babi.
Seketika Aku tercengang, lebay memang, maksudku, bagaimana mungkin tidak tertarik dengan hal-hal yang berbeda?. Babi, sebagai hewan yang diambil dagingnya untuk dikonsumsi, pasti memiliki rasa khas jika dibandingkan dengan daging lainnya. Sebagaimana rasa ayam dan bebek yang unik satu sama lain karena berasal dari kalangan unggas yang berbeda."Aku nggak tertarik"
"Loh kenapa nggak tertarik? kan sama aja kayak minuman (yang bikin mabuk) toh?" tanyaku kembali sembari mengerenyitkan dahi.
"Beda dik, minuman itu unik, tiap daerah punya, dan rasannya pasti beda-beda" ujarnya seraya menatapku berusah menjelaskan alasannya menolak. Sampai titik itu Aku hanya bisa diam tertegun.
Jawaban unik kembai Aku dapatkan, sejenak Aku pun berpikir, alangkah benarnya frasa yang menyatakan bahwa rasa daging cenderung sama. Jika mau membandingkan bagaimana rasa ayam dan bebek, keduanya memiliki suatu substansi rasa yang sama, Aku tidak tau istilahnya. Apa itu umami (?), tapi agak beda juga, mungkin sebuah . . . hmm mungkin zat rasa, kalo dalam fisika bisa disetarakan dengan hukum dasarnya lah. Mereka memiliki zat rasa yang sama. Nah, coba diingat persamaan antara daging kerbau dan sapi, lalu kambing dan domba, pasti akan ditemukan suatu kemiripan. Yang lebih sulit, mencari persamaan "zat rasa" dari daging kambing dan sapi misalnya. Tapi dari situ, jika diresapi lebih dalam, dalam kondisi lidah berfungsi optimal kita masih bisa merasakan kesamaan dari substansi rasa tersebut. Substansi ini berbeda jika dibandingkan dengan unggas dan ikan. Dari situ Aku pun mulai memahami maksud yang ia sampaikan. Sudahh terbayangkan?."Ah, rasa daging paling ya gitu-gitu doang dik, Aku juga nggak dapet apa-apa"
"Maksudnya nggak dapet apa-apa gimana?" rasa penasaranku kembali menggetarkan pita suara.
"Ya makan cuma bikin kenyang toh? beda kalo minum, minuman itu bisa dapet mabok"
ooohhhhh . . .
seketika Aku merasa tercerahkan, ternyata pada tindakannya memiliki alasan yang cukup kuat. Dirinya ikut minum karena ingin memperoleh "bonus" dari minuman tersebut, sedangkan dari daging babi, ia hanya mendapatkan rasa kenyang yang pada hakikatnya bisa didapatkan pada makanan lainnya. Oh moment kudapatkan pada sesi itu, dan itu cukup untuk menghentikan rasa kepoku padanya.
Aku cuma bisa menggelengkan kepala tanda takjub akan jawabannya. Aku tidak mendengarkannya secara langsung, melainkan melalui perantara cerita yang disampaikan oleh teman-teman yang lain. Sayang memang jawaban menarik ini tidak Aku dapatkan secara langsung sehingga tidak bisa digali lebih dalamm, namun yang terpenting adalah bagaimana ia memberikan sebuah penolakan cukup menjadi bahasan yang menarik untuk dikupas. Aku rasa bagian yang ini tidak bisa dijabarkan lebih mendalam karena Aku tidak mendengar jawabannya secara langsung."Aku udah rusak, jangan buat Aku makin rusak"
Sudah mendapatkan poin tulisan ini?
Mari merenung sekali lagi . . .
Poinnya adalah ternyata kita bisa menolak suatu hal dengan cara yang berbeda, tidak mengikuti kebiasaan yang ada, yang mana penolakan tersebut dapat diterima secara wajar, bersifat netral, dan amat mudah dimengerti.
Ini adalah suatu kasus penolakan yang entah kreatif atau apa lah sebutannya. Kalau kasus seperti ini saja -yang menurut Aku pribadi menjadi kasus sederhana yang populer, namun terabaikan- bisa dibuat suatu solusi alternatif yang "bersahabat", itu berarti masih banyak kasus yang bisa "ditolak dengan cara yang berbeda".
Berbeda di sini bukan berbeda dalam pemilihan kata sebagaimana yang digaungkan para pembicara di depan saar seminar-seminar, tapi bagaimana kita meberikan sudut pandang pribadi yang unik dengan bahasa yaang jelas dan bersahabat.
Akan banyak kasus yang semakin bervariasi jawabannya sebagai bentuk penolakan dan jawaban jika memiliki jam terbang pada kasus-kasus yang agak mirip. Karena pengalaman ada untuk dijadikan landasan berpikir dalam mengondisikan suatu keadaan yang tidak diharapkan keberadaannya.
Didik Setiawan
Sleman, 16 Agustus 2018
18.53
#kknlyfe
#kknppmugm
0 Komentar