Berdesakan di Kereta? Gas!

Mengapa Orang Memilih Berdesak-desakan di Kereta

Mengapa Orang Memilih Berdesak-desakan di Kereta: Pendekatan Ilmiah dari Perspektif Psikologi, Sosiologi, Antropologi, dan Neurologi

Meskipun terlihat tidak nyaman, banyak orang lebih memilih berdesak-desakan di kereta daripada menunggu kereta selanjutnya. Keputusan ini bisa dilihat melalui berbagai lensa ilmu pengetahuan. Dari perspektif psikologis, faktor seperti kebutuhan untuk menghindari ketidakpastian dan kecemasan akan keterlambatan berperan besar. Sosiologis memandang ini sebagai fenomena sosial di mana norma dan perilaku kelompok mempengaruhi keputusan individu. Antropologi menunjukkan bagaimana kebiasaan dan budaya urban mempengaruhi perilaku komuter. Sementara itu, neurologi memberikan wawasan tentang bagaimana otak manusia memproses risiko dan kenyamanan dalam situasi seperti ini. Artikel ini akan menjelaskan alasan di balik keputusan tersebut dari sudut pandang yang berbeda dengan mengacu pada berbagai penelitian ilmiah.

Psikologi

Dalam psikologi, perilaku ini dapat dijelaskan dengan konsep "fear of missing out" (FoMO) atau ketakutan akan kehilangan kesempatan (Przybylski et al., 2013). Orang mungkin merasa cemas akan terlambat atau kehilangan sesuatu yang penting jika mereka menunggu kereta berikutnya. Selain itu, teori perilaku adaptif menunjukkan bahwa orang cenderung memilih rute yang sudah terbukti efektif meskipun tidak nyaman (Aarts et al., 1997).

Sosiologi

Dari perspektif sosiologis, keputusan untuk berdesak-desakan juga dipengaruhi oleh norma dan tekanan sosial. Ketika mayoritas orang memilih untuk naik kereta yang penuh, individu merasa terdorong untuk mengikuti perilaku tersebut untuk tetap sesuai dengan kelompok (Asch, 1951). Selain itu, interaksi sosial dalam situasi semacam ini menciptakan perasaan solidaritas dan kebersamaan, meskipun dalam keadaan sempit dan tidak nyaman (Durkheim, 1893).

Antropologi

Antropologi melihat kebiasaan berdesak-desakan di kereta sebagai bagian dari budaya urban. Di kota-kota besar, penggunaan transportasi publik yang efisien dianggap sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari. Penelitian oleh Geertz (1973) menunjukkan bahwa perilaku individu sering kali dipengaruhi oleh konteks budaya mereka, dan dalam hal ini, budaya urban menuntut efisiensi dan kecepatan dalam berkomuter.

Neurologi

Neurologi memberikan perspektif mengenai bagaimana otak manusia memproses risiko dan kenyamanan. Studi menunjukkan bahwa otak manusia cenderung memilih opsi yang familiar dan terprediksi untuk mengurangi rasa cemas dan stres (LeDoux, 2000). Dalam situasi berdesak-desakan, otak mungkin menganggap kereta penuh sebagai pilihan yang lebih aman daripada menunggu yang tidak pasti.

Perilaku Komuter di Negara Berkembang dan Negara Maju

Perilaku komuter di negara berkembang dan negara maju menunjukkan perbedaan yang signifikan. Di negara berkembang, kondisi ekonomi dan infrastruktur yang kurang memadai sering memaksa komuter untuk menggunakan transportasi umum yang padat dan tidak nyaman. Penelitian oleh Gwilliam (2003) menunjukkan bahwa di negara berkembang, komuter cenderung lebih toleran terhadap ketidaknyamanan karena alternatif transportasi yang terbatas dan biaya yang lebih tinggi.

Sebaliknya, di negara maju, pilihan transportasi yang lebih beragam dan infrastruktur yang lebih baik memungkinkan komuter untuk memilih opsi yang lebih nyaman. Namun, meskipun ada pilihan lebih banyak, faktor waktu tetap menjadi prioritas utama, yang menyebabkan komuter di negara maju juga memilih kereta yang penuh pada jam sibuk untuk menghindari keterlambatan (Van Exel & Rietveld, 2001).

Referensi

  • Aarts, H., Verplanken, B., & van Knippenberg, A. (1997). Habit and information use in travel mode choices. Acta Psychologica, 96(1-2), 1-14.
  • Asch, S. E. (1951). Effects of group pressure upon the modification and distortion of judgments. In H. Guetzkow (Ed.), Groups, Leadership and Men. Pittsburgh, PA: Carnegie Press.
  • Durkheim, E. (1893). The Division of Labor in Society. New York: Free Press.
  • Geertz, C. (1973). The Interpretation of Cultures: Selected Essays. New York: Basic Books.
  • Gwilliam, K. (2003). Urban transport in developing countries. Transport Reviews, 23(2), 197-216.
  • LeDoux, J. E. (2000). The Emotional Brain: The Mysterious Underpinnings of Emotional Life. New York: Simon & Schuster.
  • Przybylski, A. K., Murayama, K., DeHaan, C. R., & Gladwell, V. (2013). Motivational, emotional, and behavioral correlates of fear of missing out. Computers in Human Behavior, 29(4), 1841-1848.
  • Van Exel, N. J. A., & Rietveld, P. (2001). Public transport strikes and traveller behaviour. Transport Policy, 8(4), 237-246.

Judul Ilmiah

  • The Influence of Social Norms on Commuter Behavior in Urban Environments
  • Cultural Practices and Transportation Choices: An Anthropological Perspective
  • Neurological Responses to Commuter Stress: A Study on Public Transportation
  • Adaptive Behavior in Urban Commuting: Psychological Insights
  • Group Dynamics and Individual Decisions in Public Transportation Usage

Judul SEO Friendly

  • Mengapa Orang Rela Berdesak-desakan di Kereta?
  • Rahasia di Balik Pilihan Naik Kereta yang Penuh Sesak
  • Kenapa Menunggu Kereta Selanjutnya Bukan Pilihan bagi Banyak Orang?
  • Faktor Psikologis dan Sosial di Balik Kereta yang Penuh Sesak
  • Mengapa Kita Memilih Naik Kereta Padat? Ini Alasannya!

Users also ask these questions:

  • Apa dampak jangka panjang dari berdesak-desakan di kereta terhadap kesehatan mental?
  • Bagaimana cara mengurangi stres saat menggunakan transportasi umum yang padat?
  • Apakah ada perbedaan perilaku komuter di negara berkembang dan negara maju?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Konsep Akun Media Sosial Angkatan

Antrean di Gelar Jepang UI 29: Analisis dan Implikasi

Temannya Teman