Ramadhan & Idul Fitri 1443 H



[Ramadhan 1443 H] Satu per Tiga


Ada momen ketika Saya menggandrungi perselisihan jumlah rakaat tarawih. Mana yang benar nih? 11 atau 23?.

Atau, momen ketika mempermasalahkan siapa yang benar dalam penentuan awal Ramadhan atau Syawal?.

Atau bahkan perbedaan yang paling klasik: sholat subuh pakai qunut atau tidak?.

Semua keseruan perselisihan itu Saya nikmati sampai masa sekolah menengah atas. Sampailah di suatu titik balik yang cukup mengguncang pikiran:

"Untuk apa mempermasalahkan ibadah orang lain yang memiliki dasar? mengapa tidak mempermasalahkan mereka yang tidak beribadah tanpa dasar?"

Mata Saya terbuka, pikiran Saya pun mulai menelisik : mengapa banyak orang yang tidak sholat subuh? mereka yang qunut atau tidak qunut lebih baik dari mereka yang tidak sholat sama sekali kan?.

Kenapa juga banyak orang yang tidak tarawih? tim 11 atau 23 lebih baik daripada yang tidak tarawih sama sekali dong?

Atau yang paling sederhana: mengapa banyak orang dewasa yang sanggup puasa tapi tidak puasa?.

Selama ini pikiran Saya terus mempermasalahkan hal detail yang awalnya Saya kira penting. Tapi ternyata? hal besar dan mendasar Saya lewatkan begitu Saja.

 

Didik Setiawan

Ruang Belitung, 4 April 2022
09.03

[Ramadhan 1443 H] Dua per Tiga


"Kenapa lu pake kerudung sekarang? dulu kan enggak?"

Begitu serang Saya pada satu teman perempuan saat SMA. Ia tidak memberikan alasan pada jawaban pertama, justru malah bertanya -atau mungkin sebenarnya menyerang balik- "Elu, temennya jadi baik malah digituin bukannya didukung".

Dalam percakapan singkat itu sampailah pada alasan utamanya "mumpung habis puasa mau coba pake jilbab terus".

Dirinya berterus terang bahwa ia memang menunggu momen puasa untuk mencoba konsisten dengan jilbabnya. Menjadikan ramadhan sebagai starting point untuk gaya berpakaian -dan semoga juga kehidupan- yang baru.

Momen itu adalah sore panas di Jakarta Timur, mungkin sewindu atau sedasawarsa yang lalu. Percakapan itu jugalah yang membuka tabir pikiran yang terhalangi berkenaan dengan potensi ramadhan sebagai momen upgrading diri.

Ramadhan adalah momen yang paling tepat untuk memperbaiki diri. Masyarakat akan memaklumi landasan atas perbaikan diri. Sungguh, kita tidak perlu mengkhawatirkan resistansi lingkungan yang akan bermunculan karena si ramadhan ini secara harfiah melindungi kita.

Rajin sholat subuh dan isya jamaah karena kebiasaan ramadhan, rutin puasa senin kamis karena kebiasaan puasa, konsisten maghrib tepat waktu karena kebiasaan mengejar takjil, dan beragam upgrading diri yang bisa kita lakukan dengan alasan ramadhan sebagai tamengnya.

Kita tidak perlu takut dibilang "wah tiba-tiba jadi alim" apalagi sindiran "tumben banget".

Kita tahu alasannya.

Ramadhan adalah momen paling sempurna untuk memulai konsistensi. Jika niat sudah terkumpul dari awal, maka seharusnya tidak ada alasan untuk menunda upgrading diri.

 

Didik Setiawan

Ruang Belitung, 4 April 2022
09.18

[Ramadhan 1443 H] Tiga per Tiga


Untuk saat ini, menjadi sebuah keniscayaan bahwa segala yang 'mulai' akan berjodoh dengan yang 'selesai'. Angkuhnya waktu memaksa kehidupan terus berjalan maju meninggalkan si lampau. Waktu yang memaksa mulai dan juga memaksa selesai.

Kita terjerembap dalam dimensi waktu yang prosesnya terikat pada mulai dan selesai. Apakah ada yang tidak terikat? enthalah.

Tak bisa dipungkiri Hari Raya menjadi momen selesai yang membahagiakan bagi banyak orang. Ia adalah sebuah perayaan dari selesainya sesuatu yang sudah dimulai, Ramadhan.

Saya selalu salut dengan mereka yang merasa bersedih atas hilangnya potensi mark up pahala saat ramadhan. Saya juga salut dengan mereka yang menjadikan akhir ramadhan sebagai titik mulai akan kehidupan yang jauh lebih baik.

Guncangan dalam memaknai mulai dan selesai ini merisaukan pikiran. Mana yang lebih baik? apakah berpihak berarti menepis kenyataan lain? sebuah kenyataan bahwa selesai adalah mulai baru? atau selesai adalah mulai lama yang hilang?.

Ah, lagi-lagi omong kosong ini menghabiskan potensi waktu yang bisa digunakan untuk beribadah? atau jangan-jangan omong kosong ini adalah bentuk refleksi diri?

Refleksi diri mengenai mulai dan selesai pada Ramadhan tahun ini.


Didik Setiawan

Ruang Belitung, 6 April 2022
09.04



[Idul Fitri 1443 H] Satu per Tiga


Akhirnya mudik diperkenankan kembali, betapa bahagianya orang yang terhalang mudik karena taat pada aturan pemerintah.

Lalu, apakah mereka yang mudik karena tidak taat pemerintah tidak bahagia? Ya Ndak Tau Kok Tanya Saya. Lagi pula, Saya pikir tidak ada gunanya membahas hal seperti itu di postingan semacam ini.

Lalu, apa yang lebih layak dibahas?

Saya terpikirkan tentang kehidupan Saya beberapa tahun silam. Sebuah titik yang memaksa untuk merantau ke suatu daerah di Jawa agak selatan.

Ah, Saya cuma mau bahas takjil saja sih haha.

Sebelum merantau, tiap berbuka puasa, hampir bisa dipastikan ketika berbuka puasa selalu ada makanan pembuka, entah jajanan, gorengan, es, atau apa pun yang memang menjadi bonus makanan, apetizer lah. Dilanjutkan makan seperti biasa, terlepas dari kerakusan saat berbuka puasa ya haha.

Lalu, saat merantau dengan kondisi keuangan yang terbatas, tentunya momen buka puasa di masjid adalah hal yang lumrah. Di sana, apetizer yang memungkinkan adalah kurma. Saya pikir semua sudah cukup paham konteks ceritanya.

Saya menyadari bahwa Saya hanya mengonsumsi main course tanpa apetizer apalagi desert, eh dessert. Oke, semua menyadari ini.

Lalu Saya tersadar -yang sebenarnya sudah lama Saya tahu- bahwa inilah rasanya 'tukar nasib', merasakan kehidupan masyarakat yang seharian kelaparan dan baru bisa makan di akhir hari dengan nasi dan lauk saja, tanpa adanya es buah apalagi makanan tambahan.

Saya sudah lama tahu teori ini, tapi momen rantau itulah yang benar-benar membuat Saya tersadar.

Itulah mengapa Hari Raya Idul Fitri adalah definisi dari sebuah perayaan, karena kita melakukan subsidi silang dengan zakat fitrah untuk menghilangkan kesusahan hidup mereka walau hanya beberapa hari.

 

Didik Setiawan

Ruang Flores, 12 April 2020
14.06

[Idul Fitri 1443 H] Dua per Tiga


Sebenarnya Saya jenuh buat postingan semacam ini. Tapi ya mau tidak mau Saya harus konsisten dengan postingan semacam ini, apalagi momen ramadhan dan syawal ini sangat template.

Ketika Saya jenuh, Saya seketika teringat sebuah pesan yang Saya sendiri lupa siapa yang berkata "setiap dari kita adalah pendakwah. Nggak semua dari kita harus jadi ustadz, bisa saja jadi ini itu tapi tetap yang disampaikan sama, hanya beda penyampaian dengan konten yang sama". Kira-kira begitu sih.

Ya sudah deh, ikatan beban moral ini membelenggu Saya dengan bisikan "nanti kalo nggak buat postingan gimana pertanggung jawaban di akhirat? udah dapat nasihat untuk menyampaikan, nggak ada halangan menyampaikan, tapi nggak disampaikan?" berlanjut dengan cuatan pikiran yang bilang kalau selemah-lemahnya iman adalah titik titik titik. Haha.

Here we go again, postingan kelima dalam serial ramadhan – syawal tahunan yang berjumlah 6 postingan harmonis. Semoga bisa konsisten dengan mutu yang meningkat, semoga.

Intinya cuma mau bilang kalau punya hutang puasa segera direncanakan dan dituntaskan pembayarannya, mumpung tubuh masih belum jauh dari mode berpuasa. Toh, kalau ditunda tidak ada yang jamin hal-hal yang ada di depan tidak akan mengganggu fungsi tubuh dalam berpuasa kan?.

Sudah itu saja.


Didik Setiawan

Ruang tamu, 1 Mei 2022
21.35


[Idul Fitri 1443 H] Tiga per Tiga


Mengingatkan pembayaran hutang puasa sudah, berarti sisa mengingatkan perencanaan upgrading diri.

Dulu, teman-teman Saya biasanya buat postingan semacam ini sering menggunakan tagar #selfreminder dengan maksud menyampaikan ke publik namun disamarkan sebagai pengingat diri. Entahlah, kini postingan semacam itu sudah makin langka Saya jumpai, entah mereka off media sosial atau sudah sibuk akibat pernikahan. Jadilah Saya yang sok-sok bantu mengingatkan.

Intinya mumpung ramadhan usai, kita bisa berdalih untuk melakukan ibadah tambahan dengan alasan “kebiasaan dari puasa waktu itu”. Saya paham sebagian dari kita tidak cukup kuat mental untuk diserang dengan pertanyaan “tumben banget”.

Cicil tilawah 5 ayat saja setelah sholat, puasa senin kamis, dan rawatib untuk permulaan yang sederhana. Hal yang seharusnya tidak begitu berat bagi mereka yang memang tidak terbiasa dengan ibadah ekstra.

Done tugas Saya untuk mengingatkan. Nah, untuk yang sudah menikah Saya terpikirkan sesuatu.

Seharusnya sih bakalan lebih islami karena sudah menempuh setengah agama dan punya pengingat ibadah pribadi. Standar sederhana tadi bakalan kurang dong. Jadi, yang Saya usulkan kepada kalian adalah pembuatan bluprint anak sebagai ladang investasi pahala di masa depan. Bahasa gampangnya parenting islami lah, eh, parenting yang bertujuan agar si anak menjadi sholeh/a.

Nah, ini buat Saya juga sih. Berpikir bagaimana caranya belajar dan menerapkan teori parenting islami agar idealisme tersebut terimplementasikan secara nyata. Karena menikah adalah ibadah seumur hidup, maka menurut pandangan Saya pribadi, konsep upgrading ibadah bagi mereka yang sudah menikah harus mengarah ke aktualisasi keluarga yang menghambakan diri kepada Allah seutuhnya.

Nah, pikir dah tuh.


Didik Setiawan

Ruang Tamu, 7 Mei 2022
17.48

Posting Komentar

0 Komentar