Sejujurnya, atau bahasa anehnya jujurly *wkwk padahal masih ada tbh loh*, Saya tipikal manusia yang mudah percaya dengan jalur gelap yang ada dan dialami tiap manusia. Maksudnya seperti ini, ketika ada cerita yang mengisahkan kehidupan orang lain yang sedemikian sulitnya hingga akhirnya ia bertindak di luar batas dan bahkan melanggar nilai diri yang ia miliki, Saya langsung percaya.
Kenapa? karena hal tersebut adalah proses paling realistis dalam mempertahankan kehidupan jiwanya, semacam self defense. Saya akan dengan mudah menyanggahnya secara lisan. Namun, dalam relung hati terdalam, Saya percaya dengan besarnya kemungkinan hancurnya kehidupan seseorang yang membuatnya berada dalam jalur kegelapan dan mengubahnya secara permanen.
Ada sebuah kalimat yang cukup terkenal di masa kuliah, tepatnya saat di organisasi. Kata mereka "terbentur, terbentur, terbentuk" seraya memberikan motivasi berlandaskan rasa sakit dan usaha keras. Saya sepenuhnya setuju dengan ideologi mereka. Karena tanah liat selalu mematuhi benturan yang ada. Si elastisitaslah yang sebenarnya berperan dalam proses semacam ini. Lalu, bagaimana dengan jiwa-jiwa getas yang dimiliki oleh umat manusia lainnya?.
Makanya, "terbentur, terbentur, terbentuk" punya rival abadi yang berkata "terbentur, terbentur, hancur". Si ‘hancur’ ini merupakan definisi ‘terbentuk’ secara harfiah, berbentuk dalam serpihan kecil yang sejatinya tidak diharapkan apalagi diinginkan.
Masa kelam manusia inilah yang menentukan apakah seseorang akan terbentuk atau hancur. Terlalu banyak faktor yang terlibat sehingga probabilitasnya saja bisa mencapai tak terhingga.
Satu hal lagi, kamu hanya memiliki dua kemungkinan ketika kamu terjerembap pada jalur kegelapan: terbentuk atau hancur. Motivator dan orang positif lainya pasti memintamu untuk menjadi seseorang yang ‘terbentuk’. Sedangkan Saya, mungkin memintamu untuk hancur. Cicipilah.
Didik Setiawan
Kamis, 17 Maret 2022
21.13
0 Komentar