Makna Berantai

Pada hakikatnya pendidikan (baca:sekolah) melandasi berbagai aspek penting dalam kehidupan, walau kadang dalam kenyataan tak berbanding lurus dengan kenyataan. Mungkin malah banyak yang beranggapan tingginya jenjang pendidikan yang ditempuh tidak begitu menentukan kesuksesan dimasa depan, karena dimasa depan, skill yang jauh lebih dibutuhkan.
 
Baiklah, dalam hal ini kita tidak boleh memisahkan antara rezeki dan takdir, namun secara tidak sadar kita jadi lebih mudah pasrah terhadap keadaan, alhasil tingkat optimisme dalam diri seorang bisa berkurang, padahal kita semua tahu, bahwa mindset memegang peranan penting dalam beraktifitas. Bahasa kasarnya, banyak orang yang lebih memilih "biarkan mengalir saja, seperti air". 
 
Sepintas hal ini terkesan benar, tapi pasti hanya segelintir orang yang menolak prinsip ini. Ayolah, air itu salah satu benda yang paling pasrah, dia hampir tak memiliki kehendak selain tunduk di bawah tarikan sang gravitasi, mengikuti jalur yang ada dan pada akhirnya kembali ke tempat yang pasti, lautan. 
 
Okelah jika air itu menjadi embun,salju, mengalir dalam sungai jernih atau pun berada dalam xylem, tapi bagaimana jika dalam genangan lumpur, rawa atau bahkan pelimbahan? tentu bukan hal yang baik. Lantas di manakah kesalahannya? sudah jelas bahwa ideologi kita jelas terdoktrin dengan berbagai hal yang kebenarannya masih rancu, kita percaya pada suatu hal tanpa berusaha menyelidiki atau bahkan membuktikan kebenarannya, itu yang pertama. 
 
Yang kedua, mayoritas dari kita (ingat masih ada minoritas) hanya menjalani rutinitas belajar (baca:pendidikan atau sekolah) sebagai hal biasa layaknya makan, mandi atau pun tidur, dan di sinilah kesalahan yang paling fatal. Seperti yang kita ketahui, sekolah adalah suatu tempat yang berisi berbagai macam medan tempur, di sana banyak medan yang harus kita upayakan kemenangannya, dalam hal ini kita menyebutnya sebagai kelas. 
 
Kelas merupakan suatu lokasi di mana perang dingin tak pernah berhenti. Mengatasnamakan persahabatan, kesolidan, kebersamaan, kita saling menikam, membunuh, meracuni dengan asas yang disebut nilai. Mungkin masih banyak yang melupakan bahwa kelas merupakan perang nilai, intelektualitas dan sebagainya, itulah sebabnya banyak yang memilih pasrah, lebih memilih sebagai pihak yang kalah. 
 
Saya tak mengatakan bahwa pihak yang kalah adalah pihak yang bodoh, namun mereka yang kalah adalah pihak yang tak menganggap keberadaan pentingnya belajar. Adapun pihak yang kalah bukan karena hal ini, selayaknya dia pasti menang di suatu medan. 
 
Saya permudah, orang yang lemah di kimia, padahal dia telah belajar secara optimal, selayaknya pasti unggul dalam bidang lain, jika kita sedikit berpikir, pasti otak kanan dialah yang hebat, kemungkinan seni. 
 
Yang ketiga, jika kita memang selalu kalah dalam berbagai medan, cobalah keluar kelas, di sana banyak hal yang dapat kita coba, mencoba menemukan senjata yang selama ini terpendam dalam diri kita. Di luar kelas, banyak hal yang bisa kita temui, yang paling mudah adalah organisasi. 
 
Saya sudah melakukan jajak pendapat, dan hasilnya, banyak orang yang tidak begitu peduli dengan pentingnya organisasi, alasan mereka kebanyakan lantaran mereka 'malas' mengurusi orang lain. 
 
Nah, ini dia kuncinya, dalam kehidupan, mau tidak mau, benci tidak benci, mengurus orang lain merupakan suatu keperluan, cobalah memiliki pemikiran yang berbeda, ini bukan bermaksud aib orang lain yang diurus, tetapi adalah bagaimana kita dapat mendoktrin, menundukan dan menaklukan orang lain, maksudnya sebagai pemimpin. 
 
Setiap laki-laki pasti menjadi pemimpin rumah tangganya, dan jika perempuan yang menjadi pemimpin karena kemalasan sang laki-laki, inilah hal yang sangat tak dibenarkan. Kita buka lebih luas, menjadi seorang bos pastilah menjadi seorang pemimpin, dan kita semua tau, untuk menjadi bos pastilah harus pernah merasakan pahitnya jadi bawahan. Dari bawahan, karier terus merangkak naik hingga memiliki peranan penting, jadilah seorang pemimpin. 
 
Pertanyaannya adalah bagaimana? kita kembali ke topik sebelumnya, bos pasti adalah seorang pemimpin yang dahulunya pasti pernah menjadi bawahan, jika tidak, pengalamannyalah yang akan menjatuhkan kepemimpinannya. 
 
Lantas bagaimana dengan kepemimpinan itu sendiri? kita akan sulit memperoleh softskill yang satu ini jika kita hanya menjadi pelajar yang hanya menganggap sekolah sebagai perang nilai belaka, atau bahkan lebih buruk, menganggap sekolah sebagai rutinitas biasa. Bukalah wawasan dan pemikiran Anda, banyak potensi dalam diri yang harus ditemukan di suatu tempat yang bernama sekolah, percayalah, dengan seiringnya mindset yang benar, dan Anda pun akan tau jawaban dari semua pertanyaan yang pernah bergeliat dalam diri. 
 
Adalagi yang mengatakan, hidup itu pilihan, pilihan baik atau tidak baik, dan lucunya adalah kedua pilihan ini sama-sama bisa berjalan sesuai mindset kita, dan lagi-lagi, pemikiran adalah kuncinya. Hal baik dan hal tak baik adalah dua sisi yang berbeda, kita sering mengumpamakannya sebagai koin, ada sisi gambar, ada pula sisi angka, padahal sampai sekarang tidak ada kesepakatan bersama koin apa yang dimaksud, uang logam kah? Atau koin mainan? mungkin ini perkara kecil yang tidak penting, namun dari hal kecillah hal besar akan terbentuk, bahkan daging sendiri takkan terbentuk tanpa adanya nitrogen. 
 
Kita anggap saja koin tersebut adalah uang logam, dan lagi-lagi kita sering luput, bahwa uang logam itu memiliki tiga sisi, sisi gambar, sisi angka dan sisi bergerigi yang memiliki keseimbangan labil. Dan sisi bergerigi inilah yang menentukan sisi gambar atau angka yang akan muncul, sedikit saja gaya yang terjadi pada bagian ini, menentukan sisi mana yang akan jadi pemenangnya, jika anda ingat, di film Kungfu Hustle pernah memperlihatkan sisi koin ini. 
 
Tidak mustahil ada yang mengatakan “ah, lo ngomong doang, ngga ngapa-ngapain, mana ngaruh” sebenarnya hal itu sangat salah, karena pada dasarnya ngomong itu berbicara, berbicara itu didengarkan, apa orang itu mendengar Saya? Jelas tidak, dia membaca hasil ketikan Saya, bukan mendengarkan apa yang Saya katakan, selain itu, jika Anda belum menemukan makna tersirat, sepertinya Anda harus meningkatkan kepekaan sosial.

Berbicara tentang kepekaan sosial, sampai saat ini berita tentang Palestina masih menjadi trending topic, sepertinya hal ini hal baik karena kita memberikan empati kepadanya, tapi yang salah adalah yang menghina Israel, mengapa tidak kita melakukan hal yang lebih baik saja, misalnya memberi bantuan atau berdoa agar tak ada korban dari pihak Palestina, walau terkesan mustahil, ini jauh lebih bermartabat dari berkoar-koar tak jelas. 
 
Sebenarnya ada hal yang lucu, masyarakat kita baru kembali memberi empati semaksimal mungkin ketika Piala Dunia usai, dan lucunya lagi, orang lebih memilih menyaksikan Piala Dunia daripada sholat tahajjud, dan sampai sekarang itu masih menggelikan bagi Saya. 
 
Kita semua sadar, media berperan dalam hal ini, kita pasti ingat, sebelum berita Palestina kita di fokuskan dengan Pilpres yang keren, yang diiringi Piala Dunia, lalu yang terbaru ada pesawat tetangga yang ditembak hancur, Saya sempat berpikir, adakah konspirasi dibalik berita dunia ini? Mungkinkah ini cara agar fokus kita teralihkan dari Palestina? entahlah, yang pasti berusahalah untuk peduli terhadap hal baik.

Beralih ke topik lain yang singkat, salah satu ungkapan legendaris adalah “Saya menyesal, sungguh menyesal” kemudian orang itu terjerembab dalam palung kegalauan. 
 
Saya tak tau, apa mungkin hanya Saya yang berpikir bahwa menyesal adalah suatu tindakan yang minim guna? Saya rasa menyesal adalah cara yang kurang efektif untuk solusi dari kesalahan yang kita perbuat, menangis jauh lebih bermanfaat karena dengan menangis emosional kita jauh lebih terluapkan, karena hormon kita berfungsi sebagaimana mestinya. Ataupun dengan berkomitmen untuk tak mengulangi kesalahan dan terus melakukan hal yang terbaik, ini sangatlah berguna. 
 
Dan pertanyaan lucu yang beriringan dengan ungkapan ini, “mengapa menyesal datangya di akhir?” jawabannya mudah saja, karena kalau di awal namanya kesadaran, karena sesal datang setelah kesalahan, jadi sebelum kesalahan terjadi, yang terjadi adalah kesadaran bahwa tindakan yang akan atau sedang dilakukan merupakan sebuah kesalahan. 
 
Yaa sepertinya cukup tulisan yang bersumber dari pemikiran yang agak berbeda dari Didik Setiawan, mohon maaf atas kesalahan yang Saya lakukan, dan salam sukses kawan ^^.

Post Saya di Facebook

Posting Komentar

0 Komentar